Platyhelminthes merupakan kelompok
cacing yang struktur tubuhnya paling sederhana. Kata Platyhelminthes
berasal dari bahasa Latin, platy (pipih) dan helminthes (cacing atau
vermes), sehingga kelompok ini disebut cacing pipih. Dibandingkan dengan
Filum Porifera dan Cnidaria,
organisasi tubuh cacing pipih ini sudah sedikit lebih
maju. Platyhelminthes memiliki tubuh pipih, lunak, simetri bilateral dan
bersifat hermaprodit. Tubuh dapat dibedakan dengan tegas
antara posterior dan anterior, dorsal dan ventral. Bersifat
tripoblastik, dinding tubuh terdiri atas 3 lapisan, yaitu ektoderm,
mesoderm, dan endoderm.
Serkaria membentuk ekor dan keluar menembus tubuh siput, kemudian
berenang beberapa lama sehingga melepaskan ekornya di rumput dan
tumbuhan air untuk menjadi metaserkaria. Metaserkaria kemudian
membungkus diri dengan kista (cyste) sehingga dapat bertahan pada rumput
atau tumbuhan lain, menunggu termakan oleh hewan. Ketika kista ikut
termakan bersama tumbuhan, kista akan menembus dinding usus lalu masuk
ke hati, kemudian berkembang hingga dewasa dan bertelur kembali
mengulang siklus yang sama.
Penyakit Cacing Lintah Pertama di Indonesia
Penyakit ini pertama kali ditemukan di Kalimantan Selatan pada pertengahan tahun 2000 dan bersifat endemik. Penyebabnya adalah Fasciolopsis buski, jenis cacing yang mampu menghasilkan jutaan telur yang sangat kecil dan telur-telur tersebut hanya ditemukan pada umbi teratai. Umbi tersebut sangat digemari oleh warga, terutama anak-anak yang sering memakannya tanpa dimasak terlebih dahulu, sehingga mempercepat penyebaran penyakit ini. Cacing tersebut juga menyebar melalui tinja manusia dengan bekicot sebagai hewan perantara nya. Meskipun tidak mematikan, penyakit ini ditangani serius oleh pemerintah karena menimbul kan dampak yang sangat gawat, yaitu memperlambat partumbuhan dan menurun kan tingkat kecerdasan
artikel ini disalin lengkap dari: http://perpustakaancyber.blogspot.co.id/2012/12/filum-platyhelminthes-siklus-hidup-ciri-ciri-klasifikasi-reproduksi-contoh.html
halaman utama website: http://perpustakaancyber.blogspot.co.id/
jika mencari artikel yang lebih menarik lagi, kunjungi halaman utama website tersebut. Terimakasih!
Sistem pencernaan makanan gastrovaskuler, tidak memiliki rongga tubuh.
Alat ekskresi berupa sel-sel api dan belum punya alat peredaran darah
maupun alat respirasi. Sistem syarafnya disebut sistem syaraf tangga
tali, terdiri atas sepasang ganglion (simpul syaraf ) anterior
yang dihubungkan oleh satu sampai tiga pasang tali saraf memanjang.
Platyhelminthes atau Cacing pipih tidak bersegmen, merupakan cacing berbentuk simetris bilateral dan tidak memiliki coelom (acoelomate) tetapi memiliki tiga lapisan germinal. Beberapa jenis hidup secara bebas dan banyak yang bersifat parasit. Cacing pipih memiliki sistem saraf cephalized yang terdiri dari ganglion kepala, biasanya menempel pada saraf longitudinal yang saling berhubungan di seluruh tubuh dengan cabang yang melintang. Ekskresi dan osmoregulasi pada cacing pipih dikendalikan oleh "sel api" (flame cells) yang terletak di protonephridia (beberapa jenis cacing pipih ada yang tidak memiliki protonephridia). Cacing pipih tidak memiliki sistem pernafasan atau peredaran darah, fungsi-fungsi tersebut diganti dengan penyerapan melalui permukaan tubuh. Jenis cacing pipih non-parasit memiliki tubuh yang sangat sederhana (tidak memiliki usus yang lengkap), bahkan pada spesies parasit, jaringan usus tersebut sangat tidak lengkap. [1]
1. Karakteristik Umum
Kurangnya organ peredaran darah dan pernapasan membuat platyhelminthes membatasi ukuran dan bentuknya, sehingga memungkinkan mereka untuk melakukan pemasukan oksigen dan pengeluaran karbondioksida pada semua bagian tubuhnya dengan proses difusi sederhana. Oleh karena itu, ukuran cacing ini banyak yang mikroskopis dan spesies yang berukuran besar memiliki bentuk seperti pita atau daun yang datar. Ususnya memiliki banyak cabang, sehingga nutrisi dapat menyebar ke seluruh bagian tubuh [2,3]. Respirasi dilakukan melalui seluruh permukaan tubuh sehingga membuat mereka rentan terhadap kehilangan cairan dan akibatnya habitat mereka menjadi terbatas. Cacing ini lebih sering hidup pada lingkungan yang lembab, seperti pada sampah daun atau tanah, dan sebagai parasit pada hewan lain. [2,4]
Ruang di antara kulit dan usus berupa mesenkim, yaitu jaringan ikat yang terbuat dari sel dan diperkuat oleh serat kolagen yang berfungsi seperti kerangka. Mesenkim menyediakan tempat penempelan untuk otot. Mesenkim berisi semua organ internal dan juga menjadi tempat terjadinya sirkulasi oksigen, nutrisi dan produk-produk limbah. Mesenkim terdiri dari dua jenis sel utama, yaitu sel tetap, beberapa di antaranya memiliki vakuola berisi cairan, dan sel-sel punca (stem cells), yang dapat berubah menjadi semua jenis sel lain, dan digunakan untuk regenerasi regenerasi setelah mengalami cedera atau reproduksi aseksual [2,4]
Kebanyakan platyhelminthes tidak memiliki anus sehingga material yang tercerna dikeluarkan melalui mulut. Namun, beberapa spesies yang berukuran panjang memiliki anus dan beberapa spesies lainnya memiliki usus bercabang yang kompleks dengan lebih dari satu anus, karena akan menyulitkan bagi beberapa spesies ini jika ekskresi juga harus dilakukan melalui mulut. [2,5] Usus dilapisi dengan satu lapisan sel endodermal yang berfungi menyerap dan mencerna makanan. Beberapa spesies memecah dan melembutkan makanan dengan mensekresi enzim didalam usus atau faring (tenggorokan). [2,4]
Semua hewan perlu menjaga konsentrasi zat terlarut di dalam cairan tubuhnya pada tingkat yang cukup konstan. Parasit internal dan hewan laut hidup di lingkungan dengan konsentrasi bahan terlarut yang tinggi, dan umumnya membiarkan jaringan mereka memiliki tingkat konsentrasi yang sama dengan lingkungannya, sedangkan hewan air tawar perlu mencegah cairan tubuh mereka menjadi terlalu encer. Walau ada perbedaan pada lingkungan, sebagian platyhelminthes menggunakan sistem yang sama untuk mengontrol konsentrasi cairan tubuh mereka. Mereka menggunakan “sel api”, disebut demikian karena pergerakan flagela mereka tampak seperti nyala lilin yang berkedip-kedip. Sel api mengekstrak air dari mesenkim yang mengandung limbah dan beberapa bahan yang dapat digunakan kembali, kemudian didorong menuju ke jaringan sel-sel tabung yang dilapisi dengan flagela dan mikrovili. Flagela sel tabung yang mendorong air menuju keluar disebut nefridiopora, sementara mikrovili menyerap kembali bahan yang dapat digunakan kembali dan air sebanyak yang dibutuhkan untuk menjaga cairan tubuh pada konsentrasi yang tepat. Kombinasi dari sel api dan sel tabung disebut protonefredia. [2,4] [2,6]
Pada semua platyhelminthes, sistem saraf terkonsentrasi di ujung kepala, mirip yang ada pada filum Acoel, yang memiliki jaring saraf lebih mirip dengan cnidaria dan ctenophores, tapi terkonsentrasi di sekitar kepala. Platyhelminthes lain memiliki cincin ganglia di kepala dan batang saraf utama yang ada di sepanjang tubuh mereka. [2,4] [2,5]
2. Sistem Pencernaan
Rongga pencernaan hanya memiliki satu lubang untuk kedua ingesti (asupan nutrisi) dan egesti (pengeluaran), sebagai akibatnya, makanan tidak dapat diproses secara terus menerus. [2]
3. Alat Gerak
Pergerakan pada beberapa cacing pipih dikendalikan oleh lapisan otot longitudinal, melingkar, dan miring. Sedangkan jenis lainnya bergerak sepanjang jalur lendir dengan gerakan silia epidermal. Perkembangan dari arah gerakan berhubungan dengan cephalization. Pada beberapa cacing pipih, proses cephalization sudah mencakup perkembangan di wilayah kepala berupa organ peka cahaya yang disebut ocelli. Beberapa organ penginderaan yang ada pada beberapa anggota cacing pipih (tidak selalu di kepala) meliputi kemoreseptor, reseptor keseimbangan (statocysts), dan reseptor yang merasakan pergerakan air (rheoreceptors). [1]
4. Reproduksi
Kebanyakan cacing pipih dapat bereproduksi secara seksual atau aseksual, kebanyakan monoecious. Sebagian besar telah mengembangkan cara untuk menghindari fertilisasi sendiri (self-fertilization). Perkembangannya dapat secara langsung (telur menetas menjadi cacing kecil yang menyerupai cacing dewasa) atau tidak langsung (dengan bentuk larva bersilia). [1]
5. Interaksi dengan Manusia
Sebagian besar cacing pipih berupa parasit, beberapa di antaranya memberikan efek yang sangat buruk bagi populasi manusia. [1]
Lebih dari setengah spesies cacing pipih yang dikenal merupakan parasit, dan beberapa spesies bahaya besar bagi manusia dan hewan ternak. Peyekit Schistosomiasis disebabkan oleh satu genus dari trematoda, penyakit ini merupakan nomor 2 paling dahsyat dari semua penyakit manusia yang disebabkan oleh parasit (hanya dilampaui oleh malaria). Neurocysticercosis, terjadi ketika larva cacing pita babi Taenia solium menembus sistem saraf pusat, hal ini merupakan penyebab utama terjadinya epilepsi di seluruh dunia. Ancaman parasit platyhelminthes pada manusia di negara maju meningkat karena pertanian organik. Hal ini disebabkan karena, popularitas makanan mentah atau yang dimasak sebentar, dan impor makanan dari daerah yang berisiko tinggi terjangkit platyhelminthes. Pada negara-negara kurang berkembang, orang sering tidak mampu membayar bahan bakar yang dibutuhkan untuk memasak makanan secara menyeluruh, dan pasokan air serta proyek irigasi yang buruk seiring dengan sanitasi yang buruk dan pertanian tidak higienis meningkatkan ancaman risiko terjangkit cacing ini. [2]
Dua spesies planaria telah digunakan dengan sukses di Filipina, Indonesia, Hawaii, Papua Nugini, dan Guam untuk mengendalikan populasi dari bekicot Afrika Achatina fulica, yang menggusur populasi siput asli. Namun, sekarang ada kekhawatiran bahwa planaria ini sendiri kemungkinan menjadi ancaman serius bagi populasi siput asli di daerah tesebut. Di barat laut Eropa, ada kekhawatiran tentang penyebaran cacing planaria Selandia Baru, Arthurdendyus triangulatus, yang memangsa cacing tanah. [2]
6. Kelas dari Filum Platyhelminthes
Berdasarkan bentuk tubuh dan sifat hidupnya, Platyhelminthes dibagi
menjadi tiga kelas yaitu, Kelas Turbellaria, Kelas Trematoda, dan Kelas
Cestoda. Berikut penjelasan untuk masing-masing kelas tersebut.
Platyhelminthes atau Cacing pipih tidak bersegmen, merupakan cacing berbentuk simetris bilateral dan tidak memiliki coelom (acoelomate) tetapi memiliki tiga lapisan germinal. Beberapa jenis hidup secara bebas dan banyak yang bersifat parasit. Cacing pipih memiliki sistem saraf cephalized yang terdiri dari ganglion kepala, biasanya menempel pada saraf longitudinal yang saling berhubungan di seluruh tubuh dengan cabang yang melintang. Ekskresi dan osmoregulasi pada cacing pipih dikendalikan oleh "sel api" (flame cells) yang terletak di protonephridia (beberapa jenis cacing pipih ada yang tidak memiliki protonephridia). Cacing pipih tidak memiliki sistem pernafasan atau peredaran darah, fungsi-fungsi tersebut diganti dengan penyerapan melalui permukaan tubuh. Jenis cacing pipih non-parasit memiliki tubuh yang sangat sederhana (tidak memiliki usus yang lengkap), bahkan pada spesies parasit, jaringan usus tersebut sangat tidak lengkap. [1]
1. Karakteristik Umum
Kurangnya organ peredaran darah dan pernapasan membuat platyhelminthes membatasi ukuran dan bentuknya, sehingga memungkinkan mereka untuk melakukan pemasukan oksigen dan pengeluaran karbondioksida pada semua bagian tubuhnya dengan proses difusi sederhana. Oleh karena itu, ukuran cacing ini banyak yang mikroskopis dan spesies yang berukuran besar memiliki bentuk seperti pita atau daun yang datar. Ususnya memiliki banyak cabang, sehingga nutrisi dapat menyebar ke seluruh bagian tubuh [2,3]. Respirasi dilakukan melalui seluruh permukaan tubuh sehingga membuat mereka rentan terhadap kehilangan cairan dan akibatnya habitat mereka menjadi terbatas. Cacing ini lebih sering hidup pada lingkungan yang lembab, seperti pada sampah daun atau tanah, dan sebagai parasit pada hewan lain. [2,4]
Ruang di antara kulit dan usus berupa mesenkim, yaitu jaringan ikat yang terbuat dari sel dan diperkuat oleh serat kolagen yang berfungsi seperti kerangka. Mesenkim menyediakan tempat penempelan untuk otot. Mesenkim berisi semua organ internal dan juga menjadi tempat terjadinya sirkulasi oksigen, nutrisi dan produk-produk limbah. Mesenkim terdiri dari dua jenis sel utama, yaitu sel tetap, beberapa di antaranya memiliki vakuola berisi cairan, dan sel-sel punca (stem cells), yang dapat berubah menjadi semua jenis sel lain, dan digunakan untuk regenerasi regenerasi setelah mengalami cedera atau reproduksi aseksual [2,4]
Kebanyakan platyhelminthes tidak memiliki anus sehingga material yang tercerna dikeluarkan melalui mulut. Namun, beberapa spesies yang berukuran panjang memiliki anus dan beberapa spesies lainnya memiliki usus bercabang yang kompleks dengan lebih dari satu anus, karena akan menyulitkan bagi beberapa spesies ini jika ekskresi juga harus dilakukan melalui mulut. [2,5] Usus dilapisi dengan satu lapisan sel endodermal yang berfungi menyerap dan mencerna makanan. Beberapa spesies memecah dan melembutkan makanan dengan mensekresi enzim didalam usus atau faring (tenggorokan). [2,4]
Semua hewan perlu menjaga konsentrasi zat terlarut di dalam cairan tubuhnya pada tingkat yang cukup konstan. Parasit internal dan hewan laut hidup di lingkungan dengan konsentrasi bahan terlarut yang tinggi, dan umumnya membiarkan jaringan mereka memiliki tingkat konsentrasi yang sama dengan lingkungannya, sedangkan hewan air tawar perlu mencegah cairan tubuh mereka menjadi terlalu encer. Walau ada perbedaan pada lingkungan, sebagian platyhelminthes menggunakan sistem yang sama untuk mengontrol konsentrasi cairan tubuh mereka. Mereka menggunakan “sel api”, disebut demikian karena pergerakan flagela mereka tampak seperti nyala lilin yang berkedip-kedip. Sel api mengekstrak air dari mesenkim yang mengandung limbah dan beberapa bahan yang dapat digunakan kembali, kemudian didorong menuju ke jaringan sel-sel tabung yang dilapisi dengan flagela dan mikrovili. Flagela sel tabung yang mendorong air menuju keluar disebut nefridiopora, sementara mikrovili menyerap kembali bahan yang dapat digunakan kembali dan air sebanyak yang dibutuhkan untuk menjaga cairan tubuh pada konsentrasi yang tepat. Kombinasi dari sel api dan sel tabung disebut protonefredia. [2,4] [2,6]
Pada semua platyhelminthes, sistem saraf terkonsentrasi di ujung kepala, mirip yang ada pada filum Acoel, yang memiliki jaring saraf lebih mirip dengan cnidaria dan ctenophores, tapi terkonsentrasi di sekitar kepala. Platyhelminthes lain memiliki cincin ganglia di kepala dan batang saraf utama yang ada di sepanjang tubuh mereka. [2,4] [2,5]
2. Sistem Pencernaan
Rongga pencernaan hanya memiliki satu lubang untuk kedua ingesti (asupan nutrisi) dan egesti (pengeluaran), sebagai akibatnya, makanan tidak dapat diproses secara terus menerus. [2]
3. Alat Gerak
Pergerakan pada beberapa cacing pipih dikendalikan oleh lapisan otot longitudinal, melingkar, dan miring. Sedangkan jenis lainnya bergerak sepanjang jalur lendir dengan gerakan silia epidermal. Perkembangan dari arah gerakan berhubungan dengan cephalization. Pada beberapa cacing pipih, proses cephalization sudah mencakup perkembangan di wilayah kepala berupa organ peka cahaya yang disebut ocelli. Beberapa organ penginderaan yang ada pada beberapa anggota cacing pipih (tidak selalu di kepala) meliputi kemoreseptor, reseptor keseimbangan (statocysts), dan reseptor yang merasakan pergerakan air (rheoreceptors). [1]
4. Reproduksi
Kebanyakan cacing pipih dapat bereproduksi secara seksual atau aseksual, kebanyakan monoecious. Sebagian besar telah mengembangkan cara untuk menghindari fertilisasi sendiri (self-fertilization). Perkembangannya dapat secara langsung (telur menetas menjadi cacing kecil yang menyerupai cacing dewasa) atau tidak langsung (dengan bentuk larva bersilia). [1]
5. Interaksi dengan Manusia
Sebagian besar cacing pipih berupa parasit, beberapa di antaranya memberikan efek yang sangat buruk bagi populasi manusia. [1]
Lebih dari setengah spesies cacing pipih yang dikenal merupakan parasit, dan beberapa spesies bahaya besar bagi manusia dan hewan ternak. Peyekit Schistosomiasis disebabkan oleh satu genus dari trematoda, penyakit ini merupakan nomor 2 paling dahsyat dari semua penyakit manusia yang disebabkan oleh parasit (hanya dilampaui oleh malaria). Neurocysticercosis, terjadi ketika larva cacing pita babi Taenia solium menembus sistem saraf pusat, hal ini merupakan penyebab utama terjadinya epilepsi di seluruh dunia. Ancaman parasit platyhelminthes pada manusia di negara maju meningkat karena pertanian organik. Hal ini disebabkan karena, popularitas makanan mentah atau yang dimasak sebentar, dan impor makanan dari daerah yang berisiko tinggi terjangkit platyhelminthes. Pada negara-negara kurang berkembang, orang sering tidak mampu membayar bahan bakar yang dibutuhkan untuk memasak makanan secara menyeluruh, dan pasokan air serta proyek irigasi yang buruk seiring dengan sanitasi yang buruk dan pertanian tidak higienis meningkatkan ancaman risiko terjangkit cacing ini. [2]
Dua spesies planaria telah digunakan dengan sukses di Filipina, Indonesia, Hawaii, Papua Nugini, dan Guam untuk mengendalikan populasi dari bekicot Afrika Achatina fulica, yang menggusur populasi siput asli. Namun, sekarang ada kekhawatiran bahwa planaria ini sendiri kemungkinan menjadi ancaman serius bagi populasi siput asli di daerah tesebut. Di barat laut Eropa, ada kekhawatiran tentang penyebaran cacing planaria Selandia Baru, Arthurdendyus triangulatus, yang memangsa cacing tanah. [2]
6. Kelas dari Filum Platyhelminthes
6.1. Kelas Turbellaria
Sebagian besar anggota Turbellaria hidup bebas, hanya beberapa yang
parasit. Bisa ditemui di ekosistem air tawar, air laut,
maupun terestrial. Tubuhnya berbentuk seperti daun, tidak bersegmen,
pada epidermis terdapat bulu-bulu getar, dan intestinumnya
bercabang. Panjang tubuhnya berkisar 6-15 mm dan tidak memiliki
darah.Tubuh berwarna gelap, coklat dan abu-abu bernapas secara difusi
pada permukaan seluruh tubuh. Contoh anggota kelas ini adalah Dugesia trigina,
yang lebih dikenal dengan nama Planaria (Gambar 1). Cacing planaria
hidup bebas di air tawar yang jernih dan mengalir sepanjang tahun,
menempel pada batu atau dedaunan yang jatuh.
6.2. Kelas Trematoda
Gambar 1. Dugesia tigrina (Planaria) (jcoll.org) |
6.1.1. Karakteristik Umum
Turbellaria terdiri dari sekitar 4.500 spesies, [5,7] sebagian besar
hidup bebas, dengan ukuran panjang antara 1 mm (0,039 in) sampai 600 mm
(24 in). Sebagian besar adalah predator atau pemakan bangkai. Spesies
yang ada di darat sebagian besar aktif di malam hari dan tinggal di
lingkungan yang lembab seperti pada sampah daun atau kayu yang membusuk.
Beberapa ada yang bersimbiosis dengan hewan lain seperti krustasea, dan
beberapa lainnya bersifat parasit. Turbellaria yang hidup bebas,
biasanya berwarna hitam, coklat atau abu-abu, tetapi beberapa jenis yang
lebih besar berwarna cerah. [2]
Turbellaria tidak memiliki kutikula (lapisan luar berupa bahan organik
yang bersifat non-seluler). Pada beberapa spesies kulitnya berupa
syncitium (kumpulan sel-sel dengan beberapa inti dan membran eksternal
tunggal bersama). Namun, kulit pada sebagian besar spesies ini terdiri
dari satu lapisan sel, yang masing-masing pada umumnya memiliki beberapa
silia ("rambut" kecil yang bergerak). Pada beberapa spesies berukuran
besar permukaan atas tubuhnya tidak memiliki silia. Kulit ini juga
ditutupi dengan mikrovili yang ada di antara silia. Turbellaria memiliki
banyak kelenjar, biasanya berada di dalam lapisan otot di bawah kulit
dan terhubung ke permukaan melalui pori-pori yang merupakan tempat untuk
mengeluarkan lendir, perekat, dan zat lainnya. [5,7]
Spesies akuatik berukuran kecil menggunakan silia untuk bergerak,
sementara yang lebih besar menggunakan gerakan otot dari seluruh tubuh
untuk merayap atau berenang. Beberapa mampu menggali, melekatkan bagian
ujung belakang di bawah liang kemudian meregangkan kepala untuk
mengambil makanan dan kemudian menariknya kembali ke bawah. Beberapa
spesies darat mengeluarkan benang dari lendir yang digunakan sebagai
tali untuk memanjat dari satu daun ke yang lain. [5,7]
Beberapa Turbellaria memiliki kerangka spikular, sehingga memberikan bentuk annular (seperti cincin). [5,7]
6.1.2. Pola Makan dan Pencernaan
Convoluta roscoffensis dapat menelan sel dari Tetraselmis (alga
hijau) dan pada saat dewasa spesies ini menggunakaan alga tersebut
sebagai endosymbiont untuk menyediakan makanan. Pada filum Acoel
lainnya, ususnya dilapisi oleh syncitium. Turbellaria memiliki faring
sederhana yang dilapisi silia dan menggunakan silia untuk menyapu
partikel makanan dan mangsa kecil ke dalam mulutnya. Mulut ini biasanya
berada di bagian tengah bawah dari tubuhnya.
Kebanyakan Turbellaria merupakan karnivora, mereka memangsa invertebrata
kecil, protozoa, atau memakan bangkai hewan yang mati. Beberapa spesies
memakan hewan yang lebih besar, termasuk tiram dan teritip. Bdelloura,
bersimbiosis komensialisme pada insang kepiting tapal kuda. Turbellaria
jenis ini biasanya memiliki faring eversible.[2] Microstomum caudatum
merupakan spesies air tawar yang dapat membuka mulutnya hampir selebar
panjang tubuhnya, dan mampu menelan mangsa sebesar tubuhnya. [5,7]
Usus dilapisi oleh sel fagosit yang menangkap partikel makanan yang
sebagian telah dicerna oleh enzim di dalam usus. Pencernaan kemudian
diselesaikan di dalam sel fagosit dan nutrisi disebar ke seluruh tubuh.
6.1.3. Sistem Saraf
Pada filum Acoel, setidaknya ada konsentrasi jaringan saraf di daerah
kepala, yang memiliki jaringan saraf lebih mirip dengan cnidaria dan
ctenophores, tapi memadat di sekitar kepala. Turbellaria memiliki otak
yang berbeda, meskipun relatif sederhana dalam struktur. Terdapat 1-4
pasang tali saraf dari otak hingga di sepanjang tubuh, dengan banyaknya
percabangan syaraf yang lebih kecil. Tidak seperti hewan yang lebih
kompleks, seperti Annelida, tidak ada ganglia pada pita saraf, selain
yang membentuk otak. [7,8]
Kebanyakan Turbellaria memiliki ocelli ("mata kecil"), satu pasang di
sebagian besar spesies, tapi dua atau bahkan tiga pasang pada beberapa
spesies. Beberapa spesies dengan ukuran besar memiliki banyak mata di
bagian atas otak; pada tentakel, atau di sepanjang tepi tubuh. Ocelli
hanya bisa membedakan arah datangnya cahaya, sehingga memungkinkan hewan
ini untuk menghindarinya. [7,8]
Beberapa kelompok, terutama catenulida, acoelomorpha dan seriate
memiliki statocysts, (ruangan berisi cairan yang mengandung partikel
padat). Statocysts dianggap sebagai sensor keseimbangan dan pergerakan,
pada medusae, cnidaria, dan ctenophores, statocysts juga memiliki fungsi
yang sama. Namun, statocysts pada turbellaria tidak memiliki silia
sensorik, dan tidak diketahui bagaimana mereka merasakan gerakan dan
posisi dari partikel padat.
Sebagian besar spesies memiliki sel sensor sentuhan bersilia yang
tersebar di seluruh tubuh mereka, terutama pada tentakel dan di sekitar
tepi tubuh. Sel-sel khusus di dalam lubang atau lekukan pada kepala ini
kemungkinan merupakan sensor penciuman. [5,7]
6.1.5. Reproduksi
Kebanyakan Turbellaria berkembang biak dengan mengkloning dirinya,
sedangkan pada jenis Acoel, berkembang biak dengan tunas. Planaria genus
Dugesia merupakan perwakilan genus yang terkenal dari kelas
Turbellaria. [5,7]
Semua Turbellaria merupakan organisme hermafrodit, memiliki sel-sel
reproduksi jantan dan betina, dan membuahi telurnya secara internal
melalui kopulasi. [5,7] Beberapa spesies akuatik yang lebih besar
melakukan perkawinan dengan penis fencing / adu penis, duel di mana
setiap individu mencoba untuk menghamili yang lain, individu yang kalah
mengadopsi peran perempuan untuk mengembangkan telur. [7,9]
Meskipun pada filum Acoel, gonadnya tidak dapat dibedakan, pada
Turbellaria lainnya ada satu pasang atau lebih testis dan ovarium.
Saluran sperma melalui vesikula seminalis, menuju ke otot penis. Pada
banyak spesies, jauh lebih rumit dengan adanya penambahan kelenjar
aksesori atau struktur yang lain. Penis terletak di dalam rongga, dan
dapat berereksi melalui sebuah lubang di bagian bawah posterior hewan.
Pada sebagian besar spesies, sel sperma memiliki dua ekor. [7,8]
Pada kebanyakan platyhelminthes, ovarium dibagi menjadi dua, salah satu
menghasilkan ovum, dan satunya lagi memproduksi sel kuning telur khusus,
yang digunakan untuk memelihara perkembangan embrio. Banyak spesies
Turbellaria memiliki sistem reproduksi seperti ini, akan tetapi pada
beberapa spesies tampaknya memiliki sistem reproduksi yang lebih
primitif. Ada spesies yang indung telurnya tidak terbagi, dan sel
telurnya sudah mengandung kuning telur di dalam sitoplasma mereka
sendiri, seperti yang terjadi pada sebagian besar hewan lain. Pada
sistem reproduksi lainnya, ovarium memiliki saluran telur yang menuju ke
bursa untuk mendepositkan (menyimpan) sperma. Bursa adalah bagian dari
sistem reproduksi betina dan berfungsi menyimpan sperma dimana
perkembangannya sangat beragam dan kemungkinan memiliki daerah sekunder
atau aksesori. Bursa ini pada gilirannya terhubung ke vagina yang
membuka di depan penis. Pada beberapa kasus, ada juga struktur/organ
lain yang digunakan untuk penyimpanan sperma selain bursa, atau bahkan
rahim untuk penyimpanan telur yang telah matang. [7,8]
Pada sebagian besar spesies "miniatur organisme dewasa" muncul ketika
telur menetas, tetapi spesies dengan ukuran yang besar menghasilkan
beberapa plankton seperti larva. [5,7]
6.2. Kelas Trematoda
Trematoda merupakan cacing parasit pada vertebrata. Tubuhnya tertutup
lapisan-lapisan kutikula. Kelompok ini disebut juga sebagai cacing
penghisap, karena mempunyai alat penghisap atau sucker.
Trematoda merupakan kelas di dalam filum Platyhelminthes yang terdiri dari tiga kelompok cacing pipih parasit, sering disebut juga sebagai "flukes". Kelompok-kelompok dari cacing parasit tersebut adalah Cestoda, Monogenea dan Trematoda. [10]
6.2.1. Taksonomi dan Biodiversitas
Trematoda atau “flukes” diperkirakan mencapai 18.000 [10,11] hingga 24.000 [10,12] spesies, dan dibagi menjadi dua subkelas. Hampir semua trematoda adalah parasit pada moluska dan vertebrata. Aspidogastrea, yang terdiri dari sekitar 100 spesies, merupakan parasit obligat pada moluska yang juga dapat menginfeksi kura-kura dan ikan, termasuk ikan bertulang rawan. Digenea, yang merupakan kelompok dengan keanekaragaman mayoritas pada trematoda, adalah parasit obligat dari moluska dan vertebrata, tetapi Digenea jarang menjadi parasit pada ikan bertulang rawan.
Sebelumnya, Monogenea termasuk di dalam Trematoda, dengan dasar bahwa cacing ini juga merupakan parasit berbentuk ulat (vermiform), namun studi filogenetik modern telah menjadikan kelompok menjadi kelas tersendiri di dalam filum Platyhelminthes, bersama dengan Cestoda
Trematoda berbentuk oval dan memiliki bentuk seperti cacing, biasanya panjangnya tidak lebih dari beberapa sentimeter. Fitur eksternal yang paling khas pada Trematoda adalah adannya dua pengisap, satu dekat dengan mulut, dan yang lainnya berada di bagian bawah. [10,13]
Permukaan tubuh trematoda terdiri dari syncitial tegument kuat yang membantu melindungi terhadap enzim pencernaan usus hewan. Permukaan syncitial tegument ini berfungsi untuk pertukaran gas (tidak ada organ pernapasan pada Trematoda) [10,13].
Mulutnya terletak di ujung depan, berupa otot yang disokong oleh faring. Faring terhubung melalui esofagus pendek yang disebut caeca. Caeca bercabang pada beberapa spesies. Seperti cacing pipih lainnya, Trematoda tidak memiliki anus, sehingga sisa limbah pencernaan dikeluarkan melalui mulut. [10,13]
Meskipun ekskresi limbah nitrogen sebagian besar terjadi melalui Tegument, Trematoda memiliki sistem ekskretoris, terutama yang berkaitan dengan osmoregulasi. Sistem eksretoris ini terdiri dari dua atau lebih protonephridia, yang terletak pada setiap lubang di sisi bagian tubuh dan menjadi duktus pengumpul (collecting duct). Kedua saluran pengumpul biasanya bertemu di kandung kemih tunggal, membuka ke luar melalui satu atau dua pori-pori di dekat ujung posterior hewan. [10,13]
Otak pada Trematoda terdiri dari sepasang ganglia yang berada di wilayah kepala. Dari masing-masing ganglia tersebut terdapat dua atau tiga pasang tali saraf yang menjalar ke seluruh bagian tubuh. Tali saraf yang menjalar di sepanjang permukaan ventral adalah selalu yang terbesar, sedangkan tali saraf punggung / dorsal hanya ada pada Aspidogastrea. Trematoda pada umumnya kekurangan organ penginderaan khusus, meskipun ada beberapa spesies ektoparasit yang memiliki satu atau dua pasang ocelli sederhana. [10,13]
6.2.2. Sistem Reproduksi
Kebanyakan trematoda merupakan hermafrodit (memiliki organ reproduksi jantan dan betina di dalam satu tubuh). Biasanya memiliki dua testis, dengan saluran sperma yang bergabung bersama di bawah tubuh bagian tengah depan. Sistem ini bervariasi secara struktur di antara spesies, tetapi sistem ini biasanya sudah mencakup kantung penyimpanan sperma dan kelenjar aksesori, sebagai tambahan organ kopulasi, baik yang reversible (disebut sebagai cirrus), atau non-eversible (disebut sebagai penis). [10,13]
Biasanya Trematoda hanya memiliki ovarium tunggal, yang terhubung melalui sepasang saluran menuju ke sejumlah kelenjar vitelline di kedua sisi tubuh, yang menghasilkan sel kuning telur (yolk cell). Telur lepas dari ovarium menuju ke dalam wadah yang disebut ootype atau kelenjar Mehlis (kelenjar di mana pembuahan terjadi). Kelenjar membuka menjadi uterus memanjang yang membuka ke luar, berdekatan dengan organ jantan. Ovarium sering juga dikaitkan dengan kantung penyimpanan sperma dan saluran kopulasi yang disebut kanal Laurer. [10,13]
6.2.3. Siklus Hidup
Hampir semua trematoda menginfeksi moluska sebagai inang pertama pada siklus hidupnya, dan sebagian besar memiliki siklus hidup kompleks yang melibatkan jenis inang lainnya. Kebanyakan trematoda merupakan monoeciuos dan bergantian bereproduksi secara seksual dan aseksual, kecuali pada Aspidogastrea yang tidak memiliki reproduksi aseksual dan Schistosomatidae yang bersifat dioecious (organ reproduksi jantan dan betina terpisah). [10]
Di dalam definitive host (inang, dimana parasit mencapai kematangan dan, jika mungkin, bereproduksi secara seksual), di mana reproduksi seksual terjadi, telur biasanya keluar bersamaan dengan feses dari inang. Telur yang dilepaskan di air membentuk larva yang mampu berenang bebas dan bersifat infektif ke intermediate host (inang perantara), di mana reproduksi aseksual terjadi. [10]
Sebuah spesies yang mencontohkan siklus hidup yang luar biasa dari trematoda adalah cacing pada burung, Leucochloridium paradoxum. Berbagai jenis burung hutan bertindak sebagai inang definitive bagi spesies tersebut, sementara berbagai jenis siput merupakan inang tempat parasit tumbuh (intermediate host). Parasit dewasa di dalam usus burung memproduksi telur dan pada akhirnya telur tersebut akan berakhir di tanah keluar bersamaan dengan feses burung. Beberapa telur ditelan oleh siput dan di dalam siput mereka menetas menjadi larva kecil transparan (mirasidium). Larva ini tumbuh dan memiliki bentuk seperti kantung. Tahap ini dikenal sebagai sporocyst, sporocyst ini kemudian akan membentuk tubuh sentral pada kelenjar pencernaan siput yang membentang menjadi kantung perindukan di kepala , otot kaki dan tangkai mata siput. Parasit bereplikasi sendiri pada bagian tubuh pusat sporocyst, menghasilkan banyak embrio kecil (redia). Embrio ini akan pindah menuju ke kantung perindukan dan berkembang dewasa menjadi cercaria. [10]
6.2.4. Infeksi
Infeksi pada manusia kerap terjadi di Asia, Afrika, Amerika Selatan, dan Timur Tengah. Namun, Trematoda dapat ditemukan pada semua tempat dimana limbah / kotoran manusia digunakan sebagai pupuk. Schistosomasis (dikenal juga dengan bilharzia, bilharziosis atau demam siput) merupakan salah satu contoh penyakit parasitik yang disebabkan oleh salah satu spesies Trematoda, sebuah spesies cacing parasit dari genus Schistosoma. [10]
6.2.5. SubKelas dari Kelas Trematoda
6.2.5.1. Digenea
Digenea memiliki sekitar 11.000 spesies lebih banyak dari semua gabungan spesies platyhelminthes lainnya. Digenea dewasa, biasanya memiliki dua holdfasts, sebuah cincin di sekitar mulut dan pengisap di bagian tengah bawah yang berukuran lebih besar.[2,3] Meskipun nama "Digeneans" berarti "dua generasi", sebagian besar memiliki siklus hidup yang sangat kompleks hingga mencapai tujuh tahap (tergantung pada kondisi lingkungan yang ditemui pada tahap awal), yang paling penting adalah, apakah telur disimpan di darat atau di air. Tahap peralihan mentransfer parasit dari satu inang ke inang yang lain. Definitive host, yang merupakan tempat perkembangan menuju organisme dewasa berupa vertebrata darat, inang pertama pada tahap remaja biasanya siput yang dapat hidup di darat atau di air, dan pada banyak kasus ikan atau arthropoda adalah inang kedua. [2,5]
Sebuah ilustrasi yang menunjukkan siklus hidup dari intestinal fluke (cacing yang hidup di usus), Metagonimus. Cacing ini menetas di dalam usus siput, berpindah ke ikan, di mana ia menembus tubuh dan encyst (membentuk kantong perindukan) pada daging; kemudian bergerak ke usus kecil hewan darat yang memakan ikan mentah; dan kemudian menghasilkan telur yang dikeluarkan melalui feses dan kemudian dicerna kembali oleh siput. Schistosomes, yang merupakan penyebab penyakit tropis, bilharzia, termasuk di dalam kelompok ini [2,14].
Cacing dewasa memiliki panjang antara 0,2 mm (0,0079 in) dan 6 mm (0.24 in). Stu individu Digenea dewasa individu hanya memiliki satu alat reproduksi (jantan / betina), dan pada beberapa spesies, betina hidup pada celah tertutup yang berada di sepanjang tubuh organisme jantan, dan secara periodik keluar untuk bertelur. Pada semua spesies, organisme dewasa memiliki sistem reproduksi yang kompleks dan dapat menghasilkan antara 10.000-100.000 kali lebih banyak telur sebagai cacing pipih yang hidup bebas. Selain itu, pada tahap peralihan mereka hidup di dalam siput dan bereproduksi secara aseksual. [2,5]
Spesies dewasa dari spesies yang berbeda menempati bagian / tempat yang berbeda pada inang definitive, misalnya usus, paru-paru, pembuluh darah besar, [2,3] dan hati [2,5]. Organisme dewasa menggunakan faring berotot berukuran relatif besar untuk menelan sel, fragmen sel, lendir, cairan tubuh atau darah. Pada organisme dewasa dan organisme yang hidup di siput, syncytium eksternalnya mampu menyerap nutrisi terlarut dari inangnya. Digenea dewasa dapat hidup tanpa oksigen untuk waktu yang lama. [2,5]
6.2.5.2. Aspidogastrea
Anggota dari kelompok kecil ini memiliki sebuah pengisap tunggal atau deretan pengisap yang berada bagian bawah tubuh. [1,5] Mereka menginfeksi usus ikan bertulang belakang, ikan bertulang rawan, kura-kura, dan rongga tubuh bivalvia dan gastropoda (baik air laut maupun air tawar). [2,3] Telur mereka menghasilkan larva bersilia yang mampu berenang, dan pada siklus hidupnya memiliki satu atau dua inang. [2,5]
6.2.6. Contoh Spesies Kelas Trematoda
Contoh anggota kelas ini adalah cacing hati (Fasciola hepatica) dan Clonorchis sinensis. Untuk lebih memahami kedua spesies tersebut cermati uraian berikut.
Trematoda merupakan kelas di dalam filum Platyhelminthes yang terdiri dari tiga kelompok cacing pipih parasit, sering disebut juga sebagai "flukes". Kelompok-kelompok dari cacing parasit tersebut adalah Cestoda, Monogenea dan Trematoda. [10]
6.2.1. Taksonomi dan Biodiversitas
Trematoda atau “flukes” diperkirakan mencapai 18.000 [10,11] hingga 24.000 [10,12] spesies, dan dibagi menjadi dua subkelas. Hampir semua trematoda adalah parasit pada moluska dan vertebrata. Aspidogastrea, yang terdiri dari sekitar 100 spesies, merupakan parasit obligat pada moluska yang juga dapat menginfeksi kura-kura dan ikan, termasuk ikan bertulang rawan. Digenea, yang merupakan kelompok dengan keanekaragaman mayoritas pada trematoda, adalah parasit obligat dari moluska dan vertebrata, tetapi Digenea jarang menjadi parasit pada ikan bertulang rawan.
Sebelumnya, Monogenea termasuk di dalam Trematoda, dengan dasar bahwa cacing ini juga merupakan parasit berbentuk ulat (vermiform), namun studi filogenetik modern telah menjadikan kelompok menjadi kelas tersendiri di dalam filum Platyhelminthes, bersama dengan Cestoda
Trematoda berbentuk oval dan memiliki bentuk seperti cacing, biasanya panjangnya tidak lebih dari beberapa sentimeter. Fitur eksternal yang paling khas pada Trematoda adalah adannya dua pengisap, satu dekat dengan mulut, dan yang lainnya berada di bagian bawah. [10,13]
Permukaan tubuh trematoda terdiri dari syncitial tegument kuat yang membantu melindungi terhadap enzim pencernaan usus hewan. Permukaan syncitial tegument ini berfungsi untuk pertukaran gas (tidak ada organ pernapasan pada Trematoda) [10,13].
Mulutnya terletak di ujung depan, berupa otot yang disokong oleh faring. Faring terhubung melalui esofagus pendek yang disebut caeca. Caeca bercabang pada beberapa spesies. Seperti cacing pipih lainnya, Trematoda tidak memiliki anus, sehingga sisa limbah pencernaan dikeluarkan melalui mulut. [10,13]
Meskipun ekskresi limbah nitrogen sebagian besar terjadi melalui Tegument, Trematoda memiliki sistem ekskretoris, terutama yang berkaitan dengan osmoregulasi. Sistem eksretoris ini terdiri dari dua atau lebih protonephridia, yang terletak pada setiap lubang di sisi bagian tubuh dan menjadi duktus pengumpul (collecting duct). Kedua saluran pengumpul biasanya bertemu di kandung kemih tunggal, membuka ke luar melalui satu atau dua pori-pori di dekat ujung posterior hewan. [10,13]
Otak pada Trematoda terdiri dari sepasang ganglia yang berada di wilayah kepala. Dari masing-masing ganglia tersebut terdapat dua atau tiga pasang tali saraf yang menjalar ke seluruh bagian tubuh. Tali saraf yang menjalar di sepanjang permukaan ventral adalah selalu yang terbesar, sedangkan tali saraf punggung / dorsal hanya ada pada Aspidogastrea. Trematoda pada umumnya kekurangan organ penginderaan khusus, meskipun ada beberapa spesies ektoparasit yang memiliki satu atau dua pasang ocelli sederhana. [10,13]
6.2.2. Sistem Reproduksi
Kebanyakan trematoda merupakan hermafrodit (memiliki organ reproduksi jantan dan betina di dalam satu tubuh). Biasanya memiliki dua testis, dengan saluran sperma yang bergabung bersama di bawah tubuh bagian tengah depan. Sistem ini bervariasi secara struktur di antara spesies, tetapi sistem ini biasanya sudah mencakup kantung penyimpanan sperma dan kelenjar aksesori, sebagai tambahan organ kopulasi, baik yang reversible (disebut sebagai cirrus), atau non-eversible (disebut sebagai penis). [10,13]
Biasanya Trematoda hanya memiliki ovarium tunggal, yang terhubung melalui sepasang saluran menuju ke sejumlah kelenjar vitelline di kedua sisi tubuh, yang menghasilkan sel kuning telur (yolk cell). Telur lepas dari ovarium menuju ke dalam wadah yang disebut ootype atau kelenjar Mehlis (kelenjar di mana pembuahan terjadi). Kelenjar membuka menjadi uterus memanjang yang membuka ke luar, berdekatan dengan organ jantan. Ovarium sering juga dikaitkan dengan kantung penyimpanan sperma dan saluran kopulasi yang disebut kanal Laurer. [10,13]
6.2.3. Siklus Hidup
Hampir semua trematoda menginfeksi moluska sebagai inang pertama pada siklus hidupnya, dan sebagian besar memiliki siklus hidup kompleks yang melibatkan jenis inang lainnya. Kebanyakan trematoda merupakan monoeciuos dan bergantian bereproduksi secara seksual dan aseksual, kecuali pada Aspidogastrea yang tidak memiliki reproduksi aseksual dan Schistosomatidae yang bersifat dioecious (organ reproduksi jantan dan betina terpisah). [10]
Di dalam definitive host (inang, dimana parasit mencapai kematangan dan, jika mungkin, bereproduksi secara seksual), di mana reproduksi seksual terjadi, telur biasanya keluar bersamaan dengan feses dari inang. Telur yang dilepaskan di air membentuk larva yang mampu berenang bebas dan bersifat infektif ke intermediate host (inang perantara), di mana reproduksi aseksual terjadi. [10]
Sebuah spesies yang mencontohkan siklus hidup yang luar biasa dari trematoda adalah cacing pada burung, Leucochloridium paradoxum. Berbagai jenis burung hutan bertindak sebagai inang definitive bagi spesies tersebut, sementara berbagai jenis siput merupakan inang tempat parasit tumbuh (intermediate host). Parasit dewasa di dalam usus burung memproduksi telur dan pada akhirnya telur tersebut akan berakhir di tanah keluar bersamaan dengan feses burung. Beberapa telur ditelan oleh siput dan di dalam siput mereka menetas menjadi larva kecil transparan (mirasidium). Larva ini tumbuh dan memiliki bentuk seperti kantung. Tahap ini dikenal sebagai sporocyst, sporocyst ini kemudian akan membentuk tubuh sentral pada kelenjar pencernaan siput yang membentang menjadi kantung perindukan di kepala , otot kaki dan tangkai mata siput. Parasit bereplikasi sendiri pada bagian tubuh pusat sporocyst, menghasilkan banyak embrio kecil (redia). Embrio ini akan pindah menuju ke kantung perindukan dan berkembang dewasa menjadi cercaria. [10]
6.2.4. Infeksi
Infeksi pada manusia kerap terjadi di Asia, Afrika, Amerika Selatan, dan Timur Tengah. Namun, Trematoda dapat ditemukan pada semua tempat dimana limbah / kotoran manusia digunakan sebagai pupuk. Schistosomasis (dikenal juga dengan bilharzia, bilharziosis atau demam siput) merupakan salah satu contoh penyakit parasitik yang disebabkan oleh salah satu spesies Trematoda, sebuah spesies cacing parasit dari genus Schistosoma. [10]
6.2.5. SubKelas dari Kelas Trematoda
6.2.5.1. Digenea
Digenea memiliki sekitar 11.000 spesies lebih banyak dari semua gabungan spesies platyhelminthes lainnya. Digenea dewasa, biasanya memiliki dua holdfasts, sebuah cincin di sekitar mulut dan pengisap di bagian tengah bawah yang berukuran lebih besar.[2,3] Meskipun nama "Digeneans" berarti "dua generasi", sebagian besar memiliki siklus hidup yang sangat kompleks hingga mencapai tujuh tahap (tergantung pada kondisi lingkungan yang ditemui pada tahap awal), yang paling penting adalah, apakah telur disimpan di darat atau di air. Tahap peralihan mentransfer parasit dari satu inang ke inang yang lain. Definitive host, yang merupakan tempat perkembangan menuju organisme dewasa berupa vertebrata darat, inang pertama pada tahap remaja biasanya siput yang dapat hidup di darat atau di air, dan pada banyak kasus ikan atau arthropoda adalah inang kedua. [2,5]
Sebuah ilustrasi yang menunjukkan siklus hidup dari intestinal fluke (cacing yang hidup di usus), Metagonimus. Cacing ini menetas di dalam usus siput, berpindah ke ikan, di mana ia menembus tubuh dan encyst (membentuk kantong perindukan) pada daging; kemudian bergerak ke usus kecil hewan darat yang memakan ikan mentah; dan kemudian menghasilkan telur yang dikeluarkan melalui feses dan kemudian dicerna kembali oleh siput. Schistosomes, yang merupakan penyebab penyakit tropis, bilharzia, termasuk di dalam kelompok ini [2,14].
Cacing dewasa memiliki panjang antara 0,2 mm (0,0079 in) dan 6 mm (0.24 in). Stu individu Digenea dewasa individu hanya memiliki satu alat reproduksi (jantan / betina), dan pada beberapa spesies, betina hidup pada celah tertutup yang berada di sepanjang tubuh organisme jantan, dan secara periodik keluar untuk bertelur. Pada semua spesies, organisme dewasa memiliki sistem reproduksi yang kompleks dan dapat menghasilkan antara 10.000-100.000 kali lebih banyak telur sebagai cacing pipih yang hidup bebas. Selain itu, pada tahap peralihan mereka hidup di dalam siput dan bereproduksi secara aseksual. [2,5]
Spesies dewasa dari spesies yang berbeda menempati bagian / tempat yang berbeda pada inang definitive, misalnya usus, paru-paru, pembuluh darah besar, [2,3] dan hati [2,5]. Organisme dewasa menggunakan faring berotot berukuran relatif besar untuk menelan sel, fragmen sel, lendir, cairan tubuh atau darah. Pada organisme dewasa dan organisme yang hidup di siput, syncytium eksternalnya mampu menyerap nutrisi terlarut dari inangnya. Digenea dewasa dapat hidup tanpa oksigen untuk waktu yang lama. [2,5]
6.2.5.2. Aspidogastrea
Anggota dari kelompok kecil ini memiliki sebuah pengisap tunggal atau deretan pengisap yang berada bagian bawah tubuh. [1,5] Mereka menginfeksi usus ikan bertulang belakang, ikan bertulang rawan, kura-kura, dan rongga tubuh bivalvia dan gastropoda (baik air laut maupun air tawar). [2,3] Telur mereka menghasilkan larva bersilia yang mampu berenang, dan pada siklus hidupnya memiliki satu atau dua inang. [2,5]
6.2.6. Contoh Spesies Kelas Trematoda
1) Fasciola hepatica
Cacing ini hidup sebagai parasit di dalam hati manusia dan hewan ternak
seperti sapi, babi, dan kerbau. Tubuhnya mencapai panjang 2-5 cm,
dilengkapi alat penghisap yang letaknya mengelilingi mulut dan di dekat
perut (Gambar 2). Cacing hati berkembangbiak secara seksual dengan
pembuahan silang atau pembuahan sendiri (hermaprodit).
Fasciola hepatica memiliki siklus hidup mulai dari dalam tubuh
inangnya, ketika keluar dari tubuh inang, sampai kemudian masuk kembali
sebagai parasit di tubuh inang yang baru. Perhatikan Gambar 3. Di dalam
tubuh inangnya, cacing dewasa memproduksi sperma dan ovum kemudian
melakukan pembuahan. Telur yang telah dibuahi kemudian keluar dari
tubuh inang bersama feses (kotoran). Bila jatuh di tempat yang
sesuai, telur ini akan menetas dan menjadi mirasidium (larva
bersilia). Mirasidium kemudian berenang di perairan selama 8-20
jam. Bila menemukan siput air (Lymnaea javanica), mirasidium akan masuk
ke tubuh siput tersebut, tetapi bila tidak bertemu siput air mirasidum
akan mati. Di dalam tubuh siput, mirasidium kemudian tumbuh menjadi
sporoskista. Sporokista kemudian berpartenogenesis menjadi redia dan
kemudian menjadi serkaria.
Gambar 2. Cacing hati (Fasciola hepatica) (Wikimedia Commons) |
Gambar 3. Siklus hidup cacing Fasciola hepatica |
2) Clonorchis sinensis
Cacing ini hidup di dalam hati dan saluran empedu manusia, anjing, atau
kucing. Siklus hidupnya mirip dengan cacing hati. Inang perantaranya
adalah siput, ikan, atau udang. Siklus hidup Chlonorchis sinensis dijelaskan dengan Gambar 4.
6.3. Kelas Cestoda
Gambar 4. Siklus hidup Chlonorchis sinensis |
Cacing ini mempunyai bentuk tubuh pipih panjang menyerupai pita sehingga
disebut juga sebagai cacing pita. Tubuhnya dapat dibedakan menjadi dua
bagian, yaitu skoleks (kepala) dan strobilus. Setiap strobilus terdiri
atas rangkaian segmen-segmen yang disebut proglotid. Proglotid dibentuk
melalui pembelahan tranversal di daerah leher, dan masing-masing berisi
kelengkapan kelamin jantan dan betina, sehingga setiap proglotid dapat
dipandang sebagai satu individu. Cacing ini hidup sebagai parasit pada
babi atau sapi.
Cestoda (Cestoidea) adalah nama yang diberikan untuk kelas cacing pipih parasit dari filum Platyhelminthes, dan biasa disebut cacing pita. Anggota dari Cestoda dewasa hidup di dalam saluran pencernaan vertebrata, dan pada saat juveni sering berada di dalam tubuh berbagai hewan. Lebih dari seribu spesies Cestoda telah dideskripsikan, dan semua spesies vertebrata dapat dijadikan inang oleh setidaknya satu spesies cacing pita. Beberapa spesies parasit pada manusia, karena mengkonsumsi daging yang tidak diamasak dengan baik seperti daging babi (Taenia solium), daging sapi (T. saginata), dan ikan (Diphyllobothrium spp.), atau bisa juga mengkonsumsi makanan yang disiapkan dalam kondisi kebersihan yang buruk (Hymenolepis spp. ; Echinococcus spp. ).
T. saginata, cacing pita dari sapi, dapat tumbuh sampai 20 m (65 kaki), spesies terbesar, cacing pita paus, Polygonoporus giganticus, dapat tumbuh sampai 30 m (100 ft) [15, 16, 17].
Cacing pita parasit pada vertebrata memiliki sejarah panjang: fosil dari telur Cestoda, salah satu telurnya memiliki larva yang berkembang, telah ditemukan dalam fosil kotoran (coprolita) dari hiu pada periode pertengahan sampai akhir Permian, sekitar 270 juta tahun [15, 18].
Kingdom : Animalia
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Cestoda
Subkelas :
Cestodaria
Eucestoda
Ordo dari Cestodaria :
Amphilinidea
Gyrocotylidea
Ordo dari Eucestoda
Aporidea
Caryophyllidea
Cyclophyllidea
Diphyllidea
Lecanicephalidea
Litobothridea
Nippotaeniidea
Proteocephalidea
Pseudophyllidea
Spathebothriidea
Tetraphyllidea
Trypanorhyncha
f. Contoh Spesies Kelas Cestoda
Contoh anggota kelas ini adalah Taenia solium dan Taenia saginata. Berikut uraian kedua jenis cacing tersebut.
Cestoda (Cestoidea) adalah nama yang diberikan untuk kelas cacing pipih parasit dari filum Platyhelminthes, dan biasa disebut cacing pita. Anggota dari Cestoda dewasa hidup di dalam saluran pencernaan vertebrata, dan pada saat juveni sering berada di dalam tubuh berbagai hewan. Lebih dari seribu spesies Cestoda telah dideskripsikan, dan semua spesies vertebrata dapat dijadikan inang oleh setidaknya satu spesies cacing pita. Beberapa spesies parasit pada manusia, karena mengkonsumsi daging yang tidak diamasak dengan baik seperti daging babi (Taenia solium), daging sapi (T. saginata), dan ikan (Diphyllobothrium spp.), atau bisa juga mengkonsumsi makanan yang disiapkan dalam kondisi kebersihan yang buruk (Hymenolepis spp. ; Echinococcus spp. ).
T. saginata, cacing pita dari sapi, dapat tumbuh sampai 20 m (65 kaki), spesies terbesar, cacing pita paus, Polygonoporus giganticus, dapat tumbuh sampai 30 m (100 ft) [15, 16, 17].
Cacing pita parasit pada vertebrata memiliki sejarah panjang: fosil dari telur Cestoda, salah satu telurnya memiliki larva yang berkembang, telah ditemukan dalam fosil kotoran (coprolita) dari hiu pada periode pertengahan sampai akhir Permian, sekitar 270 juta tahun [15, 18].
Kingdom : Animalia
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Cestoda
Subkelas :
Cestodaria
Eucestoda
Ordo dari Cestodaria :
Amphilinidea
Gyrocotylidea
Ordo dari Eucestoda
Aporidea
Caryophyllidea
Cyclophyllidea
Diphyllidea
Lecanicephalidea
Litobothridea
Nippotaeniidea
Proteocephalidea
Pseudophyllidea
Spathebothriidea
Tetraphyllidea
Trypanorhyncha
6.3.1. Anatomi
a. Scolex
Scolex cacing ("kepala") menempel ke usus inang definitive (inang
tetap). Pada beberapa spesies, scolex ini didominasi oleh bothria
(tentakel) yang berfungsi sebagai penghisap. Spesies lain memiliki kait
dan pengisap yang membantu untuk menempel. Cestoda Cyclophyllid dapat
diidentifikasi oleh adanya empat pengisap pada scolex mereka [15, 19].
scolex ini berasal dari sel-sel yang berasal dari bagian posterior.
Scolex merupakan bagian yang paling khas dari cacing pita dewasa,
seringkali hal ini tidak disadari pada pemeriksaan klinik karena bagian
ini berada di dalam tubuh pasien. Dengan demikian, mengidentifikasi
telur dan proglottids dalam kotoran pasien merupakan hal yang penting
untuk mengetahui infeksi cacing ini.
b. Sistem Saraf dan Tubuh
Pusat saraf utama Cestoda adalah sebuah ganglion otak di dalam scolex.
Saraf motorik dan sensorik tergantung pada jumlah dan kompleksitas dari
scolex tersebut. Saraf yang lebih kecil berasal dari Commissures
(istilah) yang berfungsi memasok otot tubuh dan merupakan ujung saraf
sensorik. Bagian cirrus (istilah) dan vagina memiliki saraf, dan
memiliki ujung sensorik di sekitar pori genital yang lebih banyak
dibandingkan daerah lain. Fungsi sensorik meliputi tactoreception dan
chemoreception . Beberapa saraf hanya bersifat sementara.
c. Proglottid
Tubuh Cestoda terdiri dari segmen yang berurutan (proglottids). Jumlah
dari proglottid disebut Strobila (tipis dan menyerupai sepotong pita).
Seperti pada beberapa cacing pipih lainnya, Cestoda menggunakan sel api
(protonephridia), yang terletak di proglottid, untuk ekskresi.
Proglottid matang dilepaskan dari ujung posterior cacing pita dan keluar
bersamaan dengan feses inangnya.
Oleh karena setiap proglottid berisi organ reproduksi jantan dan betian,
mereka bisa bereproduksi secara mandiri. Beberapa ahli biologi telah
menyatakan bahwa, tiap-tiap proglottods tidak harus dianggap sebagai
organisme tunggal, dan bahwa cacing pita sebenarnya merupakan koloni
dari proglottids.
Tata letak proglottid terdiri dari dua bentuk, craspedota (proglottid
yang tumpang tindih oleh proglottid sebelumnya, dan acraspedote
(proglottid yang tidak tumpang tindih). [15, 20]
Setelah menempel pada dinding usus inang, cacing pita menyerap nutrisi
melalui dinding usudari makanan yang dicerna oleh inangnya dan mulai
menumbuhkan ekor yang panjang, dimana setiap segmen mengandung sistem
pencernaan independen dan saluran reproduksi. Segmen yang berusia tua
didorong ke arah ujung ekor dimana segmen baru diproduksi oleh segmen
tersebut. Pada saat segmen telah mencapai ujung ekor, hanya saluran
reproduksi yang tersisa. Kemudian keluar bersama feses dengan membawa
telur cacing pita ke inang berikutnya, karena pada saat itu, proglottid
pada dasarnya adalah sebuah kantung telur. [15, 21]
d. Reproduksi
Cacing pita sejati merupakan organisme hermafrodit, mereka memiliki
sistem reproduksi jantan dan betina di dalam tubuh mereka. Sistem
reproduksi mencakup satu atau banyak testis, cirrus, vas deferens and
vesikula seminalis sebagai organ jantan. Sedangkan ovarium memiliki
saluran telur dan rahim yang saling berhubungan berfungsi sebagai organ
jantan. Ada bukaan / lubang eksternal yang secara umum digunakan untuk
sistem reproduksi jantan dan betina, yang dikenal sebagai pori genital.
Pori genital terletak pada bukaan permukaan atrium berbentuk cangkir
[15, 22] [15, 23]. Meskipun secara seksual merka adalah hermafrodit,
pembuahan sendiri merupakan fenomena langka. Fertilisasi silang antara
dua individu merupakan hal yang sering dilakukan untuk bereproduksi, hal
ini dilakukan agar dapat terjadi hibridisasi. Selama kopulasi, cirrus
dari satu individu terhubung dengan individu lain melalui pori genital,
dan kemudian terjadi pertukaran spermatozoa.
e. Siklus Hidup
Siklus hidup cacing pita sangat sederhana, dalam artian bahwa tidak ada
fase aseksual seperti pada cacing pipih lainnya. Akan tetapi memiliki
kerumitan tersendiri dimana setidaknya diperlukan satu inang perantara
dan satu inang tetap (definitive host). Pola siklus hidup ini telah
menjadi kriteria penting untuk mengetahui evolusi pada Platyhelminthes.
[15, 24] Banyak cacing pita memiliki dua tahap siklus hidup dengan dua
jenis inang. Cacing Taenia saginata dewasa hidup di dalam usus primata
seperti manusia, tetapi yang ebih mengkhawatirkan adalah Taenia solium,
karena dapat membentuk kista dalam otak manusia. Proglottid
meninggalkan tubuh melalui anus dan jatuh ke tanah, di mana mereka dapat
masuk bersamaan rumput yang dimakan oleh hewan seperti sapi. Sapi dan
hewan lain yang memakan proglottids ini dikenal sebagai inang
perantara. Juvenil bermigrasi dan menetap sebagai kista di antara
jaringan tubuh inang seperti otot. Mereka menyebabkan kerusakan lebih
parah pada inang perantara dibandingkan pada inang tetap. Parasit
melengkapi siklus hidupnya ketika inang perantara memberikan parasit ke
inang tetap. Hal ini biasanya terjadi karena, inang tetap memakan inang
perantara yang terinfeksi. Misalnya seperti manusia yang lebih cenderung
menyukai makan daging setengah mentah. [15, 25]
Contoh anggota kelas ini adalah Taenia solium dan Taenia saginata. Berikut uraian kedua jenis cacing tersebut.
1) Cacing pita babi (Taenia solium)
Cacing pita ini hidup pada saluran pencernaan babi dan bisa menular ke
manusia. Panjang tubuhnya mencapai 3 m. Pada bagian kepala atau skoleks
terdapat empat buah sucker dan kumpulan alat kait atau rostelum. Di
sebelah belakang skoleks terdapat leher atau daerah perpanjangan
(strobillus). Dari daerah inilah proglotid terbentuk melalui pembelahan
transversal. Dalam kondisi yang optimal panjang tubuh cacing pita babi
dapat mencapai 2,5-3 m dengan jumlah proglotid mencapai 1.000 buah.
Cacing ini memiliki siklus hidup seperti pada Gambar 5.
2) Cacing pita sapi (Taenia saginata)
Gambar 5. Siklus hidup Taenia solium |
Taenia saginata tidak mempunyai rostelum (kait) pada skoleknya, dan secara umum tubuhnya mirip dengan T. solium. Cacing
dewasa hidup sebagai parasit dalam usus manusia, masuk ke dalam tubuh
manusia melalui sapi sebagai hospes intermediet. Cacing ini tidak begitu
berbahaya dibandingkan T. solium. Namun demikian cacing ini tetap merugikan, karena menghambat penyerapan makanan dalam tubuh manusia.
Siklus hidup cacing ini dimulai dari terlepasnya proglotid tua bersama
feses manusia (Gambar 6). Di dalam setiap proglotid terdapat ribuan
telur yang telah dibuahi (zigot). Zigot tersebut kemudian berkembang
menjadi larva onkosfer di dalam kulit telur. Jika telur tersebut
termakan sapi, larva onkosfer akan menembus usus masuk ke dalam
pembuluh darah atau pembuluh limfa dan akhirnya sampai di otot lurik. Di
dalam otot sapi, larva onkosfer berubah menjadi kista dan
berkembang menjadi cacing gelembung atau sisteserkus yang membentuk
skoleks pada dindingnya. Ketika daging sapi tersebut dimakan manusia
(kemungkinan sisteserkus masih hidup), di dalam usus manusia skoleks
tersebut akan keluar lantas menempel pada dinding usus, kemudian tumbuh
dewasa dan membentuk proglotidproglotid baru. Kemudian siklus hidupnya
terulang kembali.
6.4. Kelas Monogenea
6.4.1. Ciri-ciri Kelas Monogenea
Monogenea merupakan cacing pipih parasit yang berukuran sangat kecil, cacing ini ditemukan terutama pada kulit atau insang ikan. Cacing ini jarang memiliki ukuran lebih dari 2 cm. Beberapa spesies yang menginfeksi ikan laut tertentu berukuran lebih besar dan cacing yang hidup di laut pada umumnya lebih besar daripada yang ditemukan pada inang air tawar. Monogenean kurang dalam sistem pernapasan, tulang dan peredaran darah dan tidak memiliki penghisap oral (kurang begitu berkembang). [26, 27] Monogenea menempel pada inang menggunakan kait, penjepit dan berbagai struktur khusus lainnya. Mereka secara dramatis mampu memanjang dan memperpendek ketika bergerak. Ahli biologi perlu memastikan bahwa spesimen ini benar-benar dalam kondisi relaks sebelum pengukuran dilakukan. [26, 28]
Seperti semua ektoparasit, Monogenea memiliki struktur untuk menempel yang berkembang dengan baik. Struktur anterior secara kolektif disebut prohaptor, sedangkan yang posterior secara kolektif disebut opisthaptor. Bagian posterior opishaptor denga bentuk seperti kait, jangkar, penjepit, dll biasanya merupakan organ penempelan utama.
Seperti cacing pipih lainnya, Monogenea tidak memiliki rongga tubuh sejati (coelom). Mereka memiliki sistem pencernaan sederhana yang terdiri dari bukaan mulut dengan faring berotot dan usus tanpa bukaan akhir (anus). Umumnya, mereka juga bersifat hermafrodit dengan organ reproduksi fungsional dari kedua jenis kelamin yang ada pada satu individu. Kebanyakan spesies bertelur (ovipar) tetapi beberapa diantaranya beranak (vivipar). Monogenea merupakan Platyhelminthes, oleh karena itu Monogenea adalah salah satu invertebrata terendah yang memiliki tiga lapisan kulit embrionik; endoderm, mesoderm, dan ektoderm. Selain itu, mereka memiliki kepala yang berisi organ-organ penginderaan dan jaringan saraf (otak).
6.4.2. Sistematika Dan Evolusi
Nenek moyang Monogenea kemungkinan adalah cacing pipih yang hidup bebas, yang mirip dengan Turbellaria modern. Menurut pandangan yang lebih diterima secara luas, "rhabdocoel Turbellaria memunculkan Monogenea, hal ini, pada gilirannya, memunculkan Digenea yang merupakan asal munculnya Cestoda. Pandangan lainnya adalah bahwa, nenek moyang rhabdocoel memunculkan dua jalur; satu memunculkan Monogenea yang memunculkan Digenea, dan jalur lain memunculkan Cestoda "[26, 27].
Monogenea memiliki sekitar 50 famili dan ribuan spesies yang telah dideskripsikan.
Beberapa ahli parasit (parasitologi) membagi Monogenea menjadi dua (atau tiga) subkelas berdasarkan kompleksitas haptor mereka: Monopisthocotylea memiliki satu bagian utama pada haptor, sering berupa kait atau cakram yang besar; sedangkan Polyopisthocotylea memiliki beberapa bagian pada haptor, biasanya berupa penjepit. Kelompok ini juga dikenal sebagai Polyonchoinea dan Heteronchoinea. Polyopisthocotyleans hampir secara eksklusif merupakan penghisap darah yang tinggal di insang, sedangkan Monopisthocotyleans dapat hidup pada insang, kulit dan sirip.
Monopisthocotylea :
Polyopisthocotylea :
Monogenea memiliki siklus hidup yang paling sederhana di antara Platyhelminthes yang bersifat parasit. Mereka tidak memiliki inang perantara dan bersifat ektoparasit pada ikan (kadang-kadang ada di kandung kemih dan rektum vertebrata berdarah dingin). Meskipun mereka hermafrodit, sistem reproduksi jantan berfungsi terlebih dahulu sebelum bagian reproduksi betina. Telur yang menetas melepaskan larva yang sangat bersilia dikenal sebagai oncomiracidium. Oncomiracidium ini memiliki banyak kait posterior dan umumnya merupakan tahap kehidupan yang bertanggung jawab untuk transmisi dari inang ke inang.
Tidak ada monogenean yang diketahui menginfeksi burung, tapi ada satu spesies (Oculotrema hippopotami) yang menginfeksi mamalia, yaitu menjadi parasit pada mata kuda nil.
Sejauh yang diketahui, tidak ada Monogenea yang menginfeksi burung, tetapi ada satu spesies yang menginfeksi mamalia, spesies ini merupakan parasit pada mata kuda nil.
Gambar 6.Siklus hidup Taenia saginata |
6.4. Kelas Monogenea
6.4.1. Ciri-ciri Kelas Monogenea
Monogenea merupakan cacing pipih parasit yang berukuran sangat kecil, cacing ini ditemukan terutama pada kulit atau insang ikan. Cacing ini jarang memiliki ukuran lebih dari 2 cm. Beberapa spesies yang menginfeksi ikan laut tertentu berukuran lebih besar dan cacing yang hidup di laut pada umumnya lebih besar daripada yang ditemukan pada inang air tawar. Monogenean kurang dalam sistem pernapasan, tulang dan peredaran darah dan tidak memiliki penghisap oral (kurang begitu berkembang). [26, 27] Monogenea menempel pada inang menggunakan kait, penjepit dan berbagai struktur khusus lainnya. Mereka secara dramatis mampu memanjang dan memperpendek ketika bergerak. Ahli biologi perlu memastikan bahwa spesimen ini benar-benar dalam kondisi relaks sebelum pengukuran dilakukan. [26, 28]
Seperti semua ektoparasit, Monogenea memiliki struktur untuk menempel yang berkembang dengan baik. Struktur anterior secara kolektif disebut prohaptor, sedangkan yang posterior secara kolektif disebut opisthaptor. Bagian posterior opishaptor denga bentuk seperti kait, jangkar, penjepit, dll biasanya merupakan organ penempelan utama.
Seperti cacing pipih lainnya, Monogenea tidak memiliki rongga tubuh sejati (coelom). Mereka memiliki sistem pencernaan sederhana yang terdiri dari bukaan mulut dengan faring berotot dan usus tanpa bukaan akhir (anus). Umumnya, mereka juga bersifat hermafrodit dengan organ reproduksi fungsional dari kedua jenis kelamin yang ada pada satu individu. Kebanyakan spesies bertelur (ovipar) tetapi beberapa diantaranya beranak (vivipar). Monogenea merupakan Platyhelminthes, oleh karena itu Monogenea adalah salah satu invertebrata terendah yang memiliki tiga lapisan kulit embrionik; endoderm, mesoderm, dan ektoderm. Selain itu, mereka memiliki kepala yang berisi organ-organ penginderaan dan jaringan saraf (otak).
6.4.2. Sistematika Dan Evolusi
Nenek moyang Monogenea kemungkinan adalah cacing pipih yang hidup bebas, yang mirip dengan Turbellaria modern. Menurut pandangan yang lebih diterima secara luas, "rhabdocoel Turbellaria memunculkan Monogenea, hal ini, pada gilirannya, memunculkan Digenea yang merupakan asal munculnya Cestoda. Pandangan lainnya adalah bahwa, nenek moyang rhabdocoel memunculkan dua jalur; satu memunculkan Monogenea yang memunculkan Digenea, dan jalur lain memunculkan Cestoda "[26, 27].
Monogenea memiliki sekitar 50 famili dan ribuan spesies yang telah dideskripsikan.
Beberapa ahli parasit (parasitologi) membagi Monogenea menjadi dua (atau tiga) subkelas berdasarkan kompleksitas haptor mereka: Monopisthocotylea memiliki satu bagian utama pada haptor, sering berupa kait atau cakram yang besar; sedangkan Polyopisthocotylea memiliki beberapa bagian pada haptor, biasanya berupa penjepit. Kelompok ini juga dikenal sebagai Polyonchoinea dan Heteronchoinea. Polyopisthocotyleans hampir secara eksklusif merupakan penghisap darah yang tinggal di insang, sedangkan Monopisthocotyleans dapat hidup pada insang, kulit dan sirip.
Monopisthocotylea :
- Genus Gyrodactylus, tidak memiliki titik mata dan bersifat vivipar (beranak).
- Genus Dactylogyrus, memiliki empat titik mata dan bersifat ovipar. Genus ini merupakan genera metazoa yang paling banyak, dimana setidaknya memiliki 970 species.
- Genus Neobenedenia, berukuran lebih besar dan hidup pada kulit spesies laut tropis, menyebabkan infeksi yang parah pada budidaya hewan laut.
Polyopisthocotylea :
- Genus Diclidophora, kebanyakan ditemukan pada ikan laut dan ikan air tawar primitif seperti ikan sturgeon dan paddlefish.
- Genus Protopolystoma, ditemukan pada katak bercakar (spesies Xenopus species).
Monogenea memiliki siklus hidup yang paling sederhana di antara Platyhelminthes yang bersifat parasit. Mereka tidak memiliki inang perantara dan bersifat ektoparasit pada ikan (kadang-kadang ada di kandung kemih dan rektum vertebrata berdarah dingin). Meskipun mereka hermafrodit, sistem reproduksi jantan berfungsi terlebih dahulu sebelum bagian reproduksi betina. Telur yang menetas melepaskan larva yang sangat bersilia dikenal sebagai oncomiracidium. Oncomiracidium ini memiliki banyak kait posterior dan umumnya merupakan tahap kehidupan yang bertanggung jawab untuk transmisi dari inang ke inang.
Tidak ada monogenean yang diketahui menginfeksi burung, tapi ada satu spesies (Oculotrema hippopotami) yang menginfeksi mamalia, yaitu menjadi parasit pada mata kuda nil.
Sejauh yang diketahui, tidak ada Monogenea yang menginfeksi burung, tetapi ada satu spesies yang menginfeksi mamalia, spesies ini merupakan parasit pada mata kuda nil.
Penyakit Cacing Lintah Pertama di Indonesia
Penyakit ini pertama kali ditemukan di Kalimantan Selatan pada pertengahan tahun 2000 dan bersifat endemik. Penyebabnya adalah Fasciolopsis buski, jenis cacing yang mampu menghasilkan jutaan telur yang sangat kecil dan telur-telur tersebut hanya ditemukan pada umbi teratai. Umbi tersebut sangat digemari oleh warga, terutama anak-anak yang sering memakannya tanpa dimasak terlebih dahulu, sehingga mempercepat penyebaran penyakit ini. Cacing tersebut juga menyebar melalui tinja manusia dengan bekicot sebagai hewan perantara nya. Meskipun tidak mematikan, penyakit ini ditangani serius oleh pemerintah karena menimbul kan dampak yang sangat gawat, yaitu memperlambat partumbuhan dan menurun kan tingkat kecerdasan
artikel ini disalin lengkap dari: http://perpustakaancyber.blogspot.co.id/2012/12/filum-platyhelminthes-siklus-hidup-ciri-ciri-klasifikasi-reproduksi-contoh.html
halaman utama website: http://perpustakaancyber.blogspot.co.id/
jika mencari artikel yang lebih menarik lagi, kunjungi halaman utama website tersebut. Terimakasih!
No comments:
Post a Comment