Pada Januari 2004, pesawat antariksa NASA bernama Stardust melesat
lewat Wild 2 dan menjaring ribuan butir debu dengan perangkap yang
terbuat dari aerogel—bahan kaca yang menggembung. Dua tahun kemudian,
kapsul yang membawa kargo rapuh ini berparasut ke padang pasir Utah,
Amerika Serikat. Tim Stardust mengeluarkan debu itu dari gel tersebut
dengan hati-hati, meletakkannya di mikroskop elektron. Mereka tercengang
melihatnya.
Kalangan ilmuwan sudah lama tahu bahwa planet, komet, dan benda langit lain yang mengitari matahari lahir sekitar 4,5 miliar tahun silam dari cakram debu dan gas yang berputar, disebut nebula matahari. Mereka sudah lama berasumsi bahwa benda-benda itu terbentuk kira-kira di tempatnya kini mengorbit. Di alam dingin di luar Neptunus, bahan yang tersedia untuk membentuk komet diduga merupakan campuran es dan debu halus yang kaya karbon.
Tetapi, butir-butir hitam yang diberi nama "Inti" ini, yang diambil oleh pesawat antariksa Stardust, mengandung mineral eksotis—butir batu dan logam keras seperti wolfram dan titanium nitrida, yang hanya mungkin terbentuk di dekat matahari yang baru lahir, pada suhu di atas 1700 derajat Celsius. Tentu ada proses dahsyat yang melontarkannya ke tata surya luar.
Para ilmuwan terkesima, karena sungguh mencengangkan bahwa bahan
bersuhu tertinggi ini ditemukan dalam benda terdingin di tata surya.
Tata surya kita benar-benar kacau-balau.”
Tata Surya yang 'Sepertinya' Statis
Semasa kita kecil, tata surya tampaknya tak pernah bertingkah. Sembilan planet beredar dalam orbit yang ajek dan tak berubah, selamanya. Alat mekanis yang indah bernama orrery mencerminkan konsep ini, yang berasal dari Isaac Newton. Pada akhir abad ke-17, Newton menunjukkan bahwa orbit planet dapat dihitung dari interaksi gravitasinya dengan matahari.
Tak lama kemudian para pembuat jam pun membuat orrery yang semakin
rumit, dengan planet perunggu mengitari matahari pada lintasan yang tak
pernah berubah. Newton sendiri tahu bahwa kenyataannya lebih amburadul.
Dia menyadari bahwa planet juga tentu berinteraksi satu sama lain.
Tarikan gravitasinya jauh lebih lemah daripada matahari, tetapi seiring waktu berpengaruh juga pada lintasan tetangganya. Akibatnya, tidak ada yang namanya orbit lingkaran. Pada prinsipnya, tarikan gravitasi yang tiada henti dapat memperbesar penyimpangan kecil ini sehingga orbit berpindah, berpotongan, atau kacau dalam segi lain.
Newton menyimpulkan bahwa Tuhan tentu turun tangan dari waktu ke waktu untuk memulihkan ketertiban. Namun, dia tidak tahu kapan. Dia tidak punya rumus untuk menghitung orbit beberapa benda langit yang tarik-menarik untuk waktu yang jauh ke depan. Pada kenyataannya, tidak ada yang melihat bukti bahwa orbit planet pernah berubah. Jadi, konsep tata surya yang ajek tetap bertahan.
Migrasi Planet
Namun, dalam sekitar satu dasawarsa terakhir berkembang pandangan yang jauh lebih dramatis. Ratusan juta tahun setelah terbentuk, planet-planet terbesar tersapu ke orbit baru, menghumbalangkan bebatuan besar dan komet ke segala arah.
Siapa sangka bahwa planet raksasa bisa berpindah, bahwa seluruh susunan tata surya bisa berubah? Tanda-tandanya memang ada, namun, mengungkapkannya diperlukan survei teleskop baru, serta “orrery digital”—algoritme pintar yang menggunakan ketangguhan kemampuan hitung komputer untuk menghitung orbit planet di masa lalu dan masa depan.
Petunjuk pertama berasal dari Pluto. Benda ini melenceng jauh di atas dan di bawah bidang datar yang dilalui kedelapan planet. Pluto menukik dalam orbit lonjong yang membawanya ke tempat 30-50 kali jarak Bumi ke matahari. Tetapi, yang paling menarik soal Pluto adalah hubungannya dengan Neptunus. Hal ini disebut resonansi: Setiap tiga kali Neptunus mengorbit matahari, Pluto mengorbit dua kali, dan sedemikian rupa sehingga kedua planet ini tidak pernah berdekatan.
Model Malhotra
Pada 1993, Renu Malhotra menyusun teori soal kemungkinan cara berkembangnya sinkronisasi tersebut. Dia mengajukan bahwa ketika tata surya masih muda serta dipenuhi asteroid dan komet, Neptunus lebih dekat dengan matahari. Jika ada benda langit yang mendekati Neptunus, gravitasi planet yang kuat dapat melemparkannya ke arah matahari atau keluar sama sekali dari tata surya.
Karena aksi menimbulkan reaksi, orbit Neptunus juga bergeser sedikit. Model komputer Malhotra menunjukkan bahwa biasanya hal itu menyebabkan Neptunus bergerak menjauhi matahari. Dalam skenarionya, hal inilah yang menyebabkan planet ini “menangkap” Pluto, yang sudah berada lebih luar, dan memasukkannya ke dalam barisan gravitasi.
Malhotra terbukti benar satu dasawarsa kemudian. Di sabuk Kuiper, wilayah gelap yang membentang jauh melampaui Neptunus, teleskop menemukan banyak Plutino—dunia kerdil beku yang sama-sama memiliki resonansi dua banding tiga dengan Neptunus. Menurut Malhotra, hal itu hanya mungkin terjadi jika Neptunus mendekati Sabuk Kuiper seperti pukat gravitasi, menjaring banyak planet kerdil ke orbit baru.
Begitu Plutino ditemukan, teori ini tidak terbantahkan lagi. Migrasi planet jadi pemikiran yang diakui umum.”
Bombardir Berat Akhir
Gagasan migrasi planet ini muncul saat para ilmuwan planet dibingungkan oleh beberapa fitur tata surya lain. Pada awal 2000-an, mereka telah lama menyadari bahwa pembentukan tata surya penuh prahara. Planet-planet membesar hingga ukuran saat ini dengan menyerap planetesimal—asteroid berbatu, komet es, dan benda yang lebih besar—yang menabraknya dengan kecepatan tinggi. Ini mungkin terjadi dalam 100 juta tahun pertama.
Yang membingungkan, prahara besar ini tidak berakhir di sini. Ratusan
juta tahun kemudian, bulan mengalami serangkaian benturan besar yang
menyebabkan permukaannya bopeng dengan kawah-kawah besar. Masa yang
disebut Late Heavy Bombardment (Bombardir Berat Akhir) ini memberondong Bumi dengan lebih dahsyat lagi.
Para ilmuwan tidak punya penjelasan yang baik soal pemicunya, karena pada saat peristiwa itu planet telah menyapu sebagian besar puing di orbitnya. Teleskop mengungkap teka-teki yang sama di sabuk Kuiper. Selain Plutino, sabuk itu dipenuhi benda-benda dengan orbit yang sangat berbeda-beda.
Beberapa benda itu berkelompok dalam cakram datar, beberapa dalam awan berbentuk donat gembung; beberapa memiliki orbit yang bahkan jauh lebih eksentrik (istilah teknis untuk lonjong) daripada orbit Pluto. Migrasi mulus Neptunus ke luar, yang digunakan Malhotra untuk menjelaskan Plutino, tidak mungkin menebarkan puing seluas ini.
Sementara itu, para astronom mulai menemukan planet di sekitar bintang lain—dan mulai secara radikal memperluas pemikiran mereka tentang apa saja yang sebenarnya mungkin terjadi dalam sebuah sistem planet. Ada yang orbitnya berdempetan, jauh lebih dekat daripada planet-planet di tata surya kita. Bahkan, ada planet yang melayang bebas di ruang antarbintang.
Model Nice
Semua planet ini tidak sesuai dengan konsep bahwa planet lahir di cakram berputar di sekitar bintang lalu duduk manis di tempat kelahirannya. Proses itu seharusnya menghasilkan orbit hampir lingkaran yang berjauhan, seperti yang ditampilkan orrery kuningan.
Jelas ada banyak planet yang bermigrasi, tetapi migrasi tenang tampaknya tidak menjelaskan orbit ekstrem dan Bombardir akhir, setidaknya menurut anggapan Levison. Dia mulai curiga bahwa sejarah tata surya kita sama sekali tidak tenang. Pada 2004, dia berkumpul dengan tiga rekan saat cuti panjang di Nice, Prancis, untuk berusaha memikirkan kejadiannya.
“Yang akan saya sampaikan ini benar-benar luar biasa gila,” katanya pada awal seminar baru-baru ini. “Jika hal ini kami terbitkan, mungkin karier saya bisa tamat.”
Pernyataan serupa sebetulnya berlaku tahun 2004, untuk hal yang sekarang disebut model Nice—hipotesis yang dikembangkannya bersama rekan-rekannya, termasuk Alessandro Morbidelli dari Observatoire de la Côte d’Azur di Nice, berdasarkan puluhan simulasi komputer.
Pada dasarnya, tim Levison mengusulkan bahwa empat planet raksasa di tata surya kita—Yupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus—awalnya lebih berdempetan, dalam orbit yang hampir lingkaran, dan tiga planet terakhir lebih dekat dengan matahari daripada orbitnya sekarang.
Pada mulanya, keempat planet itu berada dalam nebula surya berbentuk cakram, yang masih penuh dengan puing es dan batu. Karena planet tersebut menyerap planetesimal atau melemparkannya ke luar tata surya saat berpapasan dalam jarak dekat, cakram itu pun semakin bersih. Karena planet juga tarik-menarik, seluruh sistem itu tidak stabil—“tingkat kekacauannya hampir tak terhingga,” kata Levison.
Alih-alih setiap planet hanya terhubung ke matahari dengan batang kuningan, bayangkan ada tambahan pegas gravitasi yang menghubungkan semua benda langit itu. Pegas terkuat menghubungkan dua benda terbesar, Yupiter dan Saturnus. Sentakan pada pegas itu mengguncang sistem.
Dan itulah, menurut tim ini, yang terjadi ketika tata surya berumur sekitar 500 juta sampai 700 juta tahun. Saat planet berinteraksi dengan planetesimal, orbitnya sendiri mengalami pergeseran. Yupiter bergerak sedikit ke dalam; sementara Saturnus bergerak sedikit ke luar, sebagaimana halnya Uranus dan Neptunus. Semuanya terjadi perlahan—hingga suatu ketika Saturnus tepat berevolusi sekali setiap Yupiter berevolusi dua kali.
Resonansi satu banding dua itu tidak stabil seperti resonansi yang terjadi antara Neptunus dan Pluto; itu sentakan singkat yang kuat pada pegas gravitasi. Saat Yupiter dan Saturnus mendekat dan tarik-menarik berulang kali pada titik yang sama di orbitnya, orbit yang hampir lingkaran itu memanjang menjadi elips yang kita lihat sekarang.
Orbit seperti itu segera mengakhiri resonansi yang presisi, tetapi Saturnus sudah telanjur pindah ke dekat Uranus dan Neptunus, sehingga mempercepat keduanya. Kedua planet itu terdorong ke luar dengan kencang.
Sementara Uranus dan Neptunus mengarungi zona-zona tata surya yang masih dipenuhi planetesimal sarat es, keduanya memicu efek kumulatif yang merusak. Bola es berlontaran ke segala arah. Banyak benda, mungkin termasuk komet Wild 2, tersebar ke dalam sabuk Kuiper.
Entah berapa banyak—mungkin satu triliun—yang terasingkan lebih jauh lagi ke awan Oort, suatu kepompong raksasa komet yang tersebar hingga setengah jalan ke bintang tetangga. Banyak komet juga terlontar ke dalam tata-surya-dalam, dan di sana menabrak planet atau hancur terkena panas matahari.
Sementara itu, migrasi planet-raksasa juga mengganggu sabuk asteroid batu di antara Yupiter dan Mars. Asteroid yang bertebaran itu bergabung dengan komet dari tempat jauh, membentuk Bombardir Besar Akhir. Misi NASA baru-baru ini yang disebut GRAIL mendokumentasikan seberapa parah bulan kita terkena dampaknya saat itu, dan pada masa sebelumnya dalam sejarah: seluruh permukaannya retak-retak besar.
Bumi tentu terkena serangan lebih gencar, tetapi pergeseran lempeng tektonik telah meniadakan kawah-kawah yang dulu terbentuk. Masa terburuk Bombardir Berat Akhir berhenti, menurut model Nice itu, dalam waktu kurang dari 100 juta tahun. Tetapi, kajian terbaru oleh Bill Bottke dari Southwest Research Institute menyiratkan bahwa tumbukan yang berlangsung mungkin mengganggu kehidupan selama hingga dua miliar tahun lagi.
Menurut Bottke, mungkin sampai 70 di antaranya menabrak Bumi, masing-masing sebesar asteroid yang memunahkan dinosaurus. “Evolusi tata surya itu dinamis,” kata Levison. “Dahsyat. Tata surya kita mungkin tergolong tenang jika dibandingkan dengan yang terjadi di tempat lain. Mungkin memang harus tenang, agar terbentuk planet yang dapat dihuni.”
Menguji Model Nice
Model nice merupakan hipotesis, dan tidak semua ilmuwan yakin benar. Sekarang, semua orang sepakat bahwa setidaknya beberapa planet pernah bermigrasi, tetapi apakah itu memicu serangan dahsyat ke seluruh tata surya masih diperdebatkan. “Konsepnya menarik,” kata Donald Brownlee.
“Tentu terjadi di berbagai tempat, di seputar bintang lain. Apakah pernah terjadi di sini, kita tidak tahu pasti.” Jelas bahwa partikel komet seperti "Inti" terlontar keluar dari tempat di dekat matahari, katanya, tetapi pergeseran planet mungkin terjadi lebih lamban.
Kunci untuk menguji model Nice adalah membuat peta. Memetakan komposisi dan orbit benda-benda jauh dapat mengungkapkan apakah memang planet yang melontarkannya ke sana dan bagaimana terjadinya. Stern memimpin misi NASA bernama New Horizons yang akan mengirim wahana tanpa awak melewati Pluto dan kelima bulannya yang diketahui pada Juli 2015.
Dari sana, Stern berharap dapat memerintahkan New Horizons memeriksa setidaknya satu benda lain dalam sabuk Kuiper. Teleskop baru yang berkekuatan tinggi yang direncanakan dalam dasawarsa berikut akan memperlihatkan jauh lebih banyak benda dalam sabuk Kuiper.
Teleskop itu juga mungkin mengintip awan Oort, yang disebut Stern sebagai loteng tata surya. Puing-puing yang terlempar ke sana akibat Yupiter mungkin ada yang berupa planet hilang. “Saya yakin awan Oort akan membuat kita terpana,” kata Stern. “Planet pasti bertebaran di sana. Saya yakin kita akan menemukan banyak planet yang mirip Mars dan Bumi di sana.”
Masa Depan Planet-Planet di Tata Surya Kita
Bagaimana dengan masa depan planet yang kita kenal? Sifat acak di sistem ini begitu tinggi, kata teoretikus Greg Laughlin dari University of California, Santa Cruz, sehingga ramalan—maupun rekonstruksi sejarah—harus disajikan dalam kerangka probabilitas.
Kalangan ilmuwan sangat yakin bahwa keempat planet raksasa sudah selesai berkelana dan akan tetap berada di orbit yang sama selama lima miliar tahun ke depan, sementara matahari yang menua diperkirakan akan menggembung dan melahap planet-dalam. Tetapi, tidak jelas apakah planet-dalam—Merkurius, Venus, Bumi, dan Mars—saat itu masih ada dan akan mati seperti itu.
“Ada peluang satu persen bahwa tata surya-dalam akan semakin tidak stabil secara drastis selama lima juta tahun ke depan,” kata Laughlin. Masalahnya adalah hubungan jarak-jauh yang aneh antara Yupiter dan Merkurius. Ketika gerak terdekat Yupiter ke matahari sejajar dengan orbit Merkurius yang sangat datar dengan cara yang tepat, Yupiter memberi tarikan kecil tapi stabil.
Setelah miliaran tahun, ini membuka peluang 1 banding 100 bagi Merkurius untuk melintasi orbit Venus. Ada juga peluang 1 banding 500 bahwa jika Merkurius menggila, planet itu juga akan mengganggu orbit Venus atau Mars, cukup untuk menyebabkan salah satunya menabrak Bumi—atau meleset sejauh beberapa ribu kilometer. “Seluruh Bumi akan melar dan meleleh seperti gulali,” kata Laughlin.
Risiko kecil kiamat itu—peluang 1 banding 50.000 bahwa Bumi akan hancur akibat kekacauan orbit sebelum sempat dihanguskan matahari—adalah peninggalan dari masa muda tata surya, sebelum susunannya terbalik-balik. “Kalau gravitasi diberi cukup waktu,” kata Levison, “akibatnya adalah hal-hal seperti ini.”
Kalangan ilmuwan sudah lama tahu bahwa planet, komet, dan benda langit lain yang mengitari matahari lahir sekitar 4,5 miliar tahun silam dari cakram debu dan gas yang berputar, disebut nebula matahari. Mereka sudah lama berasumsi bahwa benda-benda itu terbentuk kira-kira di tempatnya kini mengorbit. Di alam dingin di luar Neptunus, bahan yang tersedia untuk membentuk komet diduga merupakan campuran es dan debu halus yang kaya karbon.
Tetapi, butir-butir hitam yang diberi nama "Inti" ini, yang diambil oleh pesawat antariksa Stardust, mengandung mineral eksotis—butir batu dan logam keras seperti wolfram dan titanium nitrida, yang hanya mungkin terbentuk di dekat matahari yang baru lahir, pada suhu di atas 1700 derajat Celsius. Tentu ada proses dahsyat yang melontarkannya ke tata surya luar.
This image shows a comet particle collected by the Stardust spacecraft |
Tata Surya yang 'Sepertinya' Statis
Semasa kita kecil, tata surya tampaknya tak pernah bertingkah. Sembilan planet beredar dalam orbit yang ajek dan tak berubah, selamanya. Alat mekanis yang indah bernama orrery mencerminkan konsep ini, yang berasal dari Isaac Newton. Pada akhir abad ke-17, Newton menunjukkan bahwa orbit planet dapat dihitung dari interaksi gravitasinya dengan matahari.
Orrery |
Tarikan gravitasinya jauh lebih lemah daripada matahari, tetapi seiring waktu berpengaruh juga pada lintasan tetangganya. Akibatnya, tidak ada yang namanya orbit lingkaran. Pada prinsipnya, tarikan gravitasi yang tiada henti dapat memperbesar penyimpangan kecil ini sehingga orbit berpindah, berpotongan, atau kacau dalam segi lain.
Newton menyimpulkan bahwa Tuhan tentu turun tangan dari waktu ke waktu untuk memulihkan ketertiban. Namun, dia tidak tahu kapan. Dia tidak punya rumus untuk menghitung orbit beberapa benda langit yang tarik-menarik untuk waktu yang jauh ke depan. Pada kenyataannya, tidak ada yang melihat bukti bahwa orbit planet pernah berubah. Jadi, konsep tata surya yang ajek tetap bertahan.
Migrasi Planet
Namun, dalam sekitar satu dasawarsa terakhir berkembang pandangan yang jauh lebih dramatis. Ratusan juta tahun setelah terbentuk, planet-planet terbesar tersapu ke orbit baru, menghumbalangkan bebatuan besar dan komet ke segala arah.
Siapa sangka bahwa planet raksasa bisa berpindah, bahwa seluruh susunan tata surya bisa berubah? Tanda-tandanya memang ada, namun, mengungkapkannya diperlukan survei teleskop baru, serta “orrery digital”—algoritme pintar yang menggunakan ketangguhan kemampuan hitung komputer untuk menghitung orbit planet di masa lalu dan masa depan.
Petunjuk pertama berasal dari Pluto. Benda ini melenceng jauh di atas dan di bawah bidang datar yang dilalui kedelapan planet. Pluto menukik dalam orbit lonjong yang membawanya ke tempat 30-50 kali jarak Bumi ke matahari. Tetapi, yang paling menarik soal Pluto adalah hubungannya dengan Neptunus. Hal ini disebut resonansi: Setiap tiga kali Neptunus mengorbit matahari, Pluto mengorbit dua kali, dan sedemikian rupa sehingga kedua planet ini tidak pernah berdekatan.
Model Malhotra
Pada 1993, Renu Malhotra menyusun teori soal kemungkinan cara berkembangnya sinkronisasi tersebut. Dia mengajukan bahwa ketika tata surya masih muda serta dipenuhi asteroid dan komet, Neptunus lebih dekat dengan matahari. Jika ada benda langit yang mendekati Neptunus, gravitasi planet yang kuat dapat melemparkannya ke arah matahari atau keluar sama sekali dari tata surya.
Karena aksi menimbulkan reaksi, orbit Neptunus juga bergeser sedikit. Model komputer Malhotra menunjukkan bahwa biasanya hal itu menyebabkan Neptunus bergerak menjauhi matahari. Dalam skenarionya, hal inilah yang menyebabkan planet ini “menangkap” Pluto, yang sudah berada lebih luar, dan memasukkannya ke dalam barisan gravitasi.
Malhotra terbukti benar satu dasawarsa kemudian. Di sabuk Kuiper, wilayah gelap yang membentang jauh melampaui Neptunus, teleskop menemukan banyak Plutino—dunia kerdil beku yang sama-sama memiliki resonansi dua banding tiga dengan Neptunus. Menurut Malhotra, hal itu hanya mungkin terjadi jika Neptunus mendekati Sabuk Kuiper seperti pukat gravitasi, menjaring banyak planet kerdil ke orbit baru.
Begitu Plutino ditemukan, teori ini tidak terbantahkan lagi. Migrasi planet jadi pemikiran yang diakui umum.”
Bombardir Berat Akhir
Gagasan migrasi planet ini muncul saat para ilmuwan planet dibingungkan oleh beberapa fitur tata surya lain. Pada awal 2000-an, mereka telah lama menyadari bahwa pembentukan tata surya penuh prahara. Planet-planet membesar hingga ukuran saat ini dengan menyerap planetesimal—asteroid berbatu, komet es, dan benda yang lebih besar—yang menabraknya dengan kecepatan tinggi. Ini mungkin terjadi dalam 100 juta tahun pertama.
Late Heavy Bombardment |
Para ilmuwan tidak punya penjelasan yang baik soal pemicunya, karena pada saat peristiwa itu planet telah menyapu sebagian besar puing di orbitnya. Teleskop mengungkap teka-teki yang sama di sabuk Kuiper. Selain Plutino, sabuk itu dipenuhi benda-benda dengan orbit yang sangat berbeda-beda.
Beberapa benda itu berkelompok dalam cakram datar, beberapa dalam awan berbentuk donat gembung; beberapa memiliki orbit yang bahkan jauh lebih eksentrik (istilah teknis untuk lonjong) daripada orbit Pluto. Migrasi mulus Neptunus ke luar, yang digunakan Malhotra untuk menjelaskan Plutino, tidak mungkin menebarkan puing seluas ini.
Sementara itu, para astronom mulai menemukan planet di sekitar bintang lain—dan mulai secara radikal memperluas pemikiran mereka tentang apa saja yang sebenarnya mungkin terjadi dalam sebuah sistem planet. Ada yang orbitnya berdempetan, jauh lebih dekat daripada planet-planet di tata surya kita. Bahkan, ada planet yang melayang bebas di ruang antarbintang.
Model Nice
Semua planet ini tidak sesuai dengan konsep bahwa planet lahir di cakram berputar di sekitar bintang lalu duduk manis di tempat kelahirannya. Proses itu seharusnya menghasilkan orbit hampir lingkaran yang berjauhan, seperti yang ditampilkan orrery kuningan.
Jelas ada banyak planet yang bermigrasi, tetapi migrasi tenang tampaknya tidak menjelaskan orbit ekstrem dan Bombardir akhir, setidaknya menurut anggapan Levison. Dia mulai curiga bahwa sejarah tata surya kita sama sekali tidak tenang. Pada 2004, dia berkumpul dengan tiga rekan saat cuti panjang di Nice, Prancis, untuk berusaha memikirkan kejadiannya.
“Yang akan saya sampaikan ini benar-benar luar biasa gila,” katanya pada awal seminar baru-baru ini. “Jika hal ini kami terbitkan, mungkin karier saya bisa tamat.”
Pernyataan serupa sebetulnya berlaku tahun 2004, untuk hal yang sekarang disebut model Nice—hipotesis yang dikembangkannya bersama rekan-rekannya, termasuk Alessandro Morbidelli dari Observatoire de la Côte d’Azur di Nice, berdasarkan puluhan simulasi komputer.
Pada dasarnya, tim Levison mengusulkan bahwa empat planet raksasa di tata surya kita—Yupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus—awalnya lebih berdempetan, dalam orbit yang hampir lingkaran, dan tiga planet terakhir lebih dekat dengan matahari daripada orbitnya sekarang.
Pada mulanya, keempat planet itu berada dalam nebula surya berbentuk cakram, yang masih penuh dengan puing es dan batu. Karena planet tersebut menyerap planetesimal atau melemparkannya ke luar tata surya saat berpapasan dalam jarak dekat, cakram itu pun semakin bersih. Karena planet juga tarik-menarik, seluruh sistem itu tidak stabil—“tingkat kekacauannya hampir tak terhingga,” kata Levison.
Alih-alih setiap planet hanya terhubung ke matahari dengan batang kuningan, bayangkan ada tambahan pegas gravitasi yang menghubungkan semua benda langit itu. Pegas terkuat menghubungkan dua benda terbesar, Yupiter dan Saturnus. Sentakan pada pegas itu mengguncang sistem.
Dan itulah, menurut tim ini, yang terjadi ketika tata surya berumur sekitar 500 juta sampai 700 juta tahun. Saat planet berinteraksi dengan planetesimal, orbitnya sendiri mengalami pergeseran. Yupiter bergerak sedikit ke dalam; sementara Saturnus bergerak sedikit ke luar, sebagaimana halnya Uranus dan Neptunus. Semuanya terjadi perlahan—hingga suatu ketika Saturnus tepat berevolusi sekali setiap Yupiter berevolusi dua kali.
Resonansi satu banding dua itu tidak stabil seperti resonansi yang terjadi antara Neptunus dan Pluto; itu sentakan singkat yang kuat pada pegas gravitasi. Saat Yupiter dan Saturnus mendekat dan tarik-menarik berulang kali pada titik yang sama di orbitnya, orbit yang hampir lingkaran itu memanjang menjadi elips yang kita lihat sekarang.
Orbit seperti itu segera mengakhiri resonansi yang presisi, tetapi Saturnus sudah telanjur pindah ke dekat Uranus dan Neptunus, sehingga mempercepat keduanya. Kedua planet itu terdorong ke luar dengan kencang.
Sementara Uranus dan Neptunus mengarungi zona-zona tata surya yang masih dipenuhi planetesimal sarat es, keduanya memicu efek kumulatif yang merusak. Bola es berlontaran ke segala arah. Banyak benda, mungkin termasuk komet Wild 2, tersebar ke dalam sabuk Kuiper.
Entah berapa banyak—mungkin satu triliun—yang terasingkan lebih jauh lagi ke awan Oort, suatu kepompong raksasa komet yang tersebar hingga setengah jalan ke bintang tetangga. Banyak komet juga terlontar ke dalam tata-surya-dalam, dan di sana menabrak planet atau hancur terkena panas matahari.
Sementara itu, migrasi planet-raksasa juga mengganggu sabuk asteroid batu di antara Yupiter dan Mars. Asteroid yang bertebaran itu bergabung dengan komet dari tempat jauh, membentuk Bombardir Besar Akhir. Misi NASA baru-baru ini yang disebut GRAIL mendokumentasikan seberapa parah bulan kita terkena dampaknya saat itu, dan pada masa sebelumnya dalam sejarah: seluruh permukaannya retak-retak besar.
Bumi tentu terkena serangan lebih gencar, tetapi pergeseran lempeng tektonik telah meniadakan kawah-kawah yang dulu terbentuk. Masa terburuk Bombardir Berat Akhir berhenti, menurut model Nice itu, dalam waktu kurang dari 100 juta tahun. Tetapi, kajian terbaru oleh Bill Bottke dari Southwest Research Institute menyiratkan bahwa tumbukan yang berlangsung mungkin mengganggu kehidupan selama hingga dua miliar tahun lagi.
Menurut Bottke, mungkin sampai 70 di antaranya menabrak Bumi, masing-masing sebesar asteroid yang memunahkan dinosaurus. “Evolusi tata surya itu dinamis,” kata Levison. “Dahsyat. Tata surya kita mungkin tergolong tenang jika dibandingkan dengan yang terjadi di tempat lain. Mungkin memang harus tenang, agar terbentuk planet yang dapat dihuni.”
Menguji Model Nice
Model nice merupakan hipotesis, dan tidak semua ilmuwan yakin benar. Sekarang, semua orang sepakat bahwa setidaknya beberapa planet pernah bermigrasi, tetapi apakah itu memicu serangan dahsyat ke seluruh tata surya masih diperdebatkan. “Konsepnya menarik,” kata Donald Brownlee.
“Tentu terjadi di berbagai tempat, di seputar bintang lain. Apakah pernah terjadi di sini, kita tidak tahu pasti.” Jelas bahwa partikel komet seperti "Inti" terlontar keluar dari tempat di dekat matahari, katanya, tetapi pergeseran planet mungkin terjadi lebih lamban.
Kunci untuk menguji model Nice adalah membuat peta. Memetakan komposisi dan orbit benda-benda jauh dapat mengungkapkan apakah memang planet yang melontarkannya ke sana dan bagaimana terjadinya. Stern memimpin misi NASA bernama New Horizons yang akan mengirim wahana tanpa awak melewati Pluto dan kelima bulannya yang diketahui pada Juli 2015.
Dari sana, Stern berharap dapat memerintahkan New Horizons memeriksa setidaknya satu benda lain dalam sabuk Kuiper. Teleskop baru yang berkekuatan tinggi yang direncanakan dalam dasawarsa berikut akan memperlihatkan jauh lebih banyak benda dalam sabuk Kuiper.
Teleskop itu juga mungkin mengintip awan Oort, yang disebut Stern sebagai loteng tata surya. Puing-puing yang terlempar ke sana akibat Yupiter mungkin ada yang berupa planet hilang. “Saya yakin awan Oort akan membuat kita terpana,” kata Stern. “Planet pasti bertebaran di sana. Saya yakin kita akan menemukan banyak planet yang mirip Mars dan Bumi di sana.”
Masa Depan Planet-Planet di Tata Surya Kita
Bagaimana dengan masa depan planet yang kita kenal? Sifat acak di sistem ini begitu tinggi, kata teoretikus Greg Laughlin dari University of California, Santa Cruz, sehingga ramalan—maupun rekonstruksi sejarah—harus disajikan dalam kerangka probabilitas.
Kalangan ilmuwan sangat yakin bahwa keempat planet raksasa sudah selesai berkelana dan akan tetap berada di orbit yang sama selama lima miliar tahun ke depan, sementara matahari yang menua diperkirakan akan menggembung dan melahap planet-dalam. Tetapi, tidak jelas apakah planet-dalam—Merkurius, Venus, Bumi, dan Mars—saat itu masih ada dan akan mati seperti itu.
“Ada peluang satu persen bahwa tata surya-dalam akan semakin tidak stabil secara drastis selama lima juta tahun ke depan,” kata Laughlin. Masalahnya adalah hubungan jarak-jauh yang aneh antara Yupiter dan Merkurius. Ketika gerak terdekat Yupiter ke matahari sejajar dengan orbit Merkurius yang sangat datar dengan cara yang tepat, Yupiter memberi tarikan kecil tapi stabil.
Setelah miliaran tahun, ini membuka peluang 1 banding 100 bagi Merkurius untuk melintasi orbit Venus. Ada juga peluang 1 banding 500 bahwa jika Merkurius menggila, planet itu juga akan mengganggu orbit Venus atau Mars, cukup untuk menyebabkan salah satunya menabrak Bumi—atau meleset sejauh beberapa ribu kilometer. “Seluruh Bumi akan melar dan meleleh seperti gulali,” kata Laughlin.
Risiko kecil kiamat itu—peluang 1 banding 50.000 bahwa Bumi akan hancur akibat kekacauan orbit sebelum sempat dihanguskan matahari—adalah peninggalan dari masa muda tata surya, sebelum susunannya terbalik-balik. “Kalau gravitasi diberi cukup waktu,” kata Levison, “akibatnya adalah hal-hal seperti ini.”
No comments:
Post a Comment