Majapahit
adalah sebuah kerajaan di Indonesia yang pernah berdiri dari sekitar
tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya dan
mejadi Kemaharajaan raya yang menguasai wilayah yang luas pada masa
kekuasaan Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389.
Kerajaan Majapahit adalah kerajaan
Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Nusantara dan dianggap sebagai
salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia.[2]
Kekuasaannya terbentang di Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya,
Kalimantan, hingga Indonesia timur, meskipun wilayah kekuasaannya masih
diperdebatkan.
Historiografi
Hanya terdapat sedikit bukti fisik sisa-sisa Majapahit,[4] dan sejarahnya tidak jelas.[5] Sumber utama yang digunakan oleh para sejarawan adalah Pararaton (‘Kitab Raja-raja’) dalam bahasa Kawi dan Nagarakretagama dalam bahasa Jawa Kuno.[6] Pararaton
terutama menceritakan Ken Arok (pendiri Kerajaan Singhasari) namun juga
memuat beberapa bagian pendek mengenai terbentuknya Majapahit.
Sementara itu, Nagarakertagama merupakan puisi Jawa Kuno yang
ditulis pada masa keemasan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk.
Setelah masa itu, hal yang terjadi tidaklah jelas.[7] Selain itu, terdapat beberapa prasasti dalam bahasa Jawa Kuno maupun catatan sejarah dari Tiongkok dan negara-negara lain.[7]
Keakuratan semua naskah berbahasa Jawa
tersebut dipertentangkan. Tidak dapat disangkal bahwa sumber-sumber itu
memuat unsur non-historis dan mitos. Beberapa sarjana seperti C.C. Berg
menganggap semua naskah tersebut bukan catatan masa lalu, tetapi
memiliki arti supernatural dalam hal dapat mengetahui masa depan.[8]
Namun demikian, banyak pula sarjana yang beranggapan bahwa garis besar
sumber-sumber tersebut dapat diterima karena sejalan dengan catatan
sejarah dari Tiongkok, khususnya daftar penguasa dan keadaan kerajaan
yang tampak cukup pasti.[5]
Sejarah
Berdirinya Majapahit
Arca Harihara, dewa gabungan Siwa dan Wisnu sebagai penggambaran
Kertarajasa. Berlokasi semula di Candi Simping, Blitar, kini menjadi
koleksi Museum Nasional Republik Indonesia.
Sesudah Singhasari mengalahkan Sriwijaya pada tahun 1290[rujukan?],
Singhasari menjadi kerajaan paling kuat di wilayah tersebut. Hal ini
menjadi perhatian Kubilai Khan, penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia
mengirim utusan yang bernama Meng Chi[9] ke Singhasari yang
menuntut upeti. Kertanagara, penguasa kerajaan Singhasari yang terakhir
menolak untuk membayar upeti dan mempermalukan utusan tersebut dengan
merusak wajahnya dan memotong telinganya.[9][10] Kublai Khan marah dan lalu memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa tahun 1293.
Ketika itu, Jayakatwang, adipati Kediri,
sudah membunuh Kertanagara. Atas saran Aria Wiraraja, Jayakatwang
memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya, menantu Kertanegara, yang
datang menyerahkan diri. Raden Wijaya kemudian diberi hutan Tarik. Ia
membuka hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai Majapahit,
yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa “pahit” dari buah
tersebut. Ketika pasukan Mongol tiba, Wijaya bersekutu dengan pasukan
Mongol untuk bertempur melawan Jayakatwang. Raden Wijaya berbalik
menyerang sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang
kembali pasukannya secara kalang-kabut karena mereka berada di teritori
asing.[11][12] Saat itu juga merupakan kesempatan
terakhir mereka untuk menangkap angin muson agar dapat pulang, atau
mereka harus terpaksa menunggu enam bulan lagi di pulau yang asing.
Tanggal pasti yang digunakan sebagai
tanggal kelahiran kerajaan Majapahit adalah hari penobatan Raden Wijaya
sebagai raja, yaitu tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 saka yang
bertepatan dengan tanggal 10 November 1293. Ia dinobatkan dengan nama
resmi Kertarajasa Jayawardhana. Kerajaan ini menghadapi masalah.
Beberapa orang tepercaya Kertarajasa, termasuk Ranggalawe, Sora, dan
Nambi memberontak melawannya, meskipun pemberontakan tersebut tidak
berhasil. Slamet Muljana menduga bahwa mahapatih Halayudha lah yang
melakukan konspirasi untuk menjatuhkan semua orang tepercaya raja, agar
ia dapat mencapai posisi tertinggi dalam pemerintahan. Namun setelah
kematian pemberontak terakhir (Kuti), Halayudha ditangkap dan dipenjara,
dan lalu dihukum mati.[12] Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309.
Anak dan penerus Wijaya, Jayanegara, adalah penguasa yang jahat dan amoral. Ia digelari Kala Gemet,
yang berarti “penjahat lemah”. Kira-kira pada suatu waktu dalam kurun
pemerintahan Jayanegara, seorang pendeta Italia, Odorico da Pordenone
mengunjungi keraton Majapahit di Jawa. Pada tahun 1328, Jayanegara
dibunuh oleh tabibnya, Tanca. Ibu tirinya yaitu Gayatri Rajapatni
seharusnya menggantikannya, akan tetapi Rajapatni memilih mengundurkan
diri dari istana dan menjadi bhiksuni. Rajapatni menunjuk anak
perempuannya Tribhuwana Wijayatunggadewi untuk menjadi ratu Majapahit.
Pada tahun 1336, Tribhuwana menunjuk Gajah Mada sebagai Mahapatih, pada
saat pelantikannya Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa yang menunjukkan
rencananya untuk melebarkan kekuasaan Majapahit dan membangun sebuah
kemaharajaan. Selama kekuasaan Tribhuwana, kerajaan Majapahit berkembang
menjadi lebih besar dan terkenal di kepulauan Nusantara. Tribhuwana
berkuasa di Majapahit sampai kematian ibunya pada tahun 1350. Ia
diteruskan oleh putranya, Hayam Wuruk.
Kejayaan Majapahit
Bidadari Majapahit yang anggun, ukiran emas apsara
(bidadari surgawi) gaya khas Majapahit menggambarkan dengan sempurna
zaman kerajaan Majapahit sebagai “zaman keemasan” di kepulauan
nusantara.
Terakota wajah yang dipercaya sebagai potret Gajah Mada.
Hayam Wuruk, juga disebut Rajasanagara,
memerintah Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389. Pada masanya Majapahit
mencapai puncak kejayaannya dengan bantuan mahapatihnya, Gajah Mada. Di
bawah perintah Gajah Mada (1313-1364), Majapahit menguasai lebih banyak
wilayah.
Menurut Kakawin Nagarakretagama
pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra, semenanjung
Malaya, Kalimantan, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua,
dan sebagian kepulauan Filipina[13]. Sumber ini menunjukkan batas terluas sekaligus puncak kejayaan Kemaharajaan Majapahit.
Namun demikian, batasan alam dan ekonomi
menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut tampaknya tidaklah
berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan satu
sama lain oleh perdagangan yang mungkin berupa monopoli oleh raja[14].
Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma
bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke
Tiongkok.[14][2]
Selain melancarkan serangan dan ekspedisi
militer, Majapahit juga menempuh jalan diplomasi dan menjalin
persekutuan. Kemungkinan karena didorong alasan politik, Hayam Wuruk
berhasrat mengambil Citraresmi (Pitaloka), putri Kerajaan Sunda sebagai
permaisurinya.[15] Pihak Sunda menganggap lamaran ini sebagai
perjanjian persekutuan. Pada 1357 rombongan raja Sunda beserta keluarga
dan pengawalnya bertolak ke Majapahit mengantarkan sang putri untuk
dinikahkan dengan Hayam Wuruk. Akan tetapi Gajah Mada melihat hal ini
sebagai peluang untuk memaksa kerajaan Sunda takluk di bawah Majapahit.
Pertarungan antara keluarga kerajaan Sunda dengan tentara Majapahit di
lapangan Bubat tidak terelakkan. Meski dengan gagah berani memberikan
perlawanan, keluarga kerajaan Sunda kewalahan dan akhirnya dikalahkan.
Hampir seluruh rombongan keluarga kerajaan Sunda dapat dibinasakan
secara kejam.[16] Tradisi menyebutkan bahwa sang putri yang
kecewa, dengan hati remuk redam melakukan “bela pati”, bunuh diri untuk
membela kehormatan negaranya.[17] Kisah Pasunda Bubat menjadi
tema utama dalam naskah Kidung Sunda yang disusun pada zaman kemudian
di Bali. Kisah ini disinggung dalam Pararaton tetapi sama sekali tidak
disebutkan dalam Nagarakretagama.
Kakawin Nagarakretagama yang disusun pada
tahun 1365 menyebutkan budaya keraton yang adiluhung, anggun, dan
canggih, dengan cita rasa seni dan sastra yang halus dan tinggi, serta
sistem ritual keagamaan yang rumit. Sang pujangga menggambarkan
Majapahit sebagai pusat mandala raksasa yang membentang dari Sumatera ke
Papua, mencakup Semenanjung Malaya dan Maluku. Tradisi lokal di
berbagai daerah di Nusantara masih mencatat kisah legenda mengenai
kekuasaan Majapahit. Administrasi pemerintahan langsung oleh kerajaan
Majapahit hanya mencakup wilayah Jawa Timur dan Bali, di luar daerah itu
hanya semacam pemerintahan otonomi luas, pembayaran upeti berkala, dan
pengakuan kedaulatan Majapahit atas mereka. Akan tetapi segala
pemberontakan atau tantangan bagi ketuanan Majapahit atas daerah itu
dapat mengundang reaksi keras.[18]
Pada tahun 1377, beberapa tahun setelah
kematian Gajah Mada, Majapahit melancarkan serangan laut untuk menumpas
pemberontakan di Palembang,[2] menyebabkan runtuhnya sisa-sisa kerajaan Sriwijaya. Salah satu panglima Gajah Mada yang terkenal adalah Adityawarman[rujukan?], yang termahsyur atas penaklukan Minangkabau.
Meskipun penguasa Majapahit memperluas
kekuasaannya pada berbagai pulau dan kadang-kadang menyerang kerajaan
tetangga, perhatian utama Majapahit nampaknya adalah mendapatkan porsi
terbesar dan mengendalikan perdagangan di kepulauan Nusantara. Pada saat
inilah pedagang muslim dan penyebar agama Islam mulai memasuki kawasan
ini.
Jatuhnya Majapahit
Sesudah mencapai puncaknya pada abad
ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur melemah. Setelah wafatnya
Hayam Wuruk pada tahun 1389, Majapahit memasuki masa kemunduran akibat
konflik perebutan takhta. Pewaris Hayam Wuruk adalah putri mahkota
Kusumawardhani, yang menikahi sepupunya sendiri, pangeran
Wikramawardhana. Hayam Wuruk juga memiliki seorang putra dari selirnya
Wirabhumi yang juga menuntut haknya atas takhta.[5] Parang
saudara yang disebut Perang Paregreg diperkirakan terjadi pada tahun
1405-1406, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Perang ini akhirnya
dimenangi Wikramawardhana, semetara Wirabhumi ditangkap dan kemudian
dipancung. Tampaknya perang saudara ini melemahkan kendali Majapahit
atas daerah-daerah taklukannya di seberang.
Pada kurun pemerintahan Wikramawardhana,
serangkaian ekspedisi laut Dinasti Ming yang dipimpin oleh laksamana
Cheng Ho, seorang jenderal muslim China, tiba di Jawa beberapa kali
antara kurun waktu 1405 sampai 1433. Sejak tahun 1430 ekspedisi Cheng Ho
ini telah menciptakan komunitas muslim China dan Arab di beberapa kota
pelabuhan pantai utara Jawa, seperti di Semarang, Demak, Tuban, dan
Ampel; maka Islam pun mulai memiliki pijakan di pantai utara Jawa.
Wikramawardhana memerintah hingga tahun
1426, dan diteruskan oleh putrinya, Ratu Suhita, yang memerintah pada
tahun 1426 sampai 1447. Ia adalah putri kedua Wikramawardhana dari
seorang selir yang juga putri kedua Wirabhumi. Pada 1447, Suhita mangkat
dan pemerintahan dilanjutkan oleh Kertawijaya, adik laki-lakinya. Ia
memerintah hingga tahun 1451. Setelah Kertawijayawafat, Bhre Pamotan
menjadi raja dengan gelar Rajasawardhana dan memerintah di Kahuripan. Ia
wafat pada tahun 1453 AD. Terjadi jeda waktu tiga tahun tanpa raja
akibat krisis pewarisan takhta. Girisawardhana, putra Kertawijaya, naik
takhta pada 1456. Ia kemudian wafat pada 1466 dan digantikan oleh
Singhawikramawardhana. Pada 1468 pangeran Kertabhumi memberontak
terhadap Singhawikramawardhana dan mengangkat dirinya sebagai raja
Majapahit.[7].
Ketika Majapahit didirikan, pedagang
Muslim dan para penyebar agama sudah mulai memasuki Nusantara. Pada
akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh
Nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan
perdagangan baru yang berdasarkan Islam, yaitu Kesultanan Malaka, mulai
muncul di bagian barat Nusantara[19]. Di bagian barat
kemaharajaan yang mulai runtuh ini, Majapahit tak kuasa lagi membendung
kebangkitan Kesultanan Malaka yang pada pertengahan abad ke-15 mulai
menguasai Selat Malaka dan melebarkan kekuasaannya ke Sumatera.
Sementara itu beberapa jajahan dan daerah taklukan Majapahit di daerah
lainnya di Nusantara, satu per satu mulai melepaskan diri dari kekuasaan
Majapahit.
Sebuah tampilan model kapal Majapahit di Muzium Negara, Kuala Lumpur, Malaysia.
Singhawikramawardhana memindahkan ibu
kota kerajaan lebih jauh ke pedalaman di Daha (bekas ibu kota Kerajaan
Kediri) dan terus memerintah disana hingga digantikan oleh putranya
Ranawijaya pada tahun 1474. Pada 1478 Ranawijaya mengalahkan Kertabhumi
dan mempersatukan kembali Majapahit menjadi satu kerajaan. Ranawijaya
memerintah pada kurun waktu 1474 hingga 1519 dengan gelar
Girindrawardhana. Meskipun demikian kekuatan Majapahit telah melemah
akibat konflik dinasti ini dan mulai bangkitnya kekuatan
kerajaan-kerajaan Islam di pantai utara Jawa.
Waktu berakhirnya Kemaharajaan Majapahit
berkisar pada kurun waktu tahun 1478 (tahun 1400 saka, berakhirnya abad
dianggap sebagai waktu lazim pergantian dinasti dan berakhirnya suatu
pemerintahan[20]) hingga tahun 1527.
Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi.
Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca
sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini
adalah “sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Namun demikian yang
sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala tersebut adalah gugurnya Bhre
Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana[21].
Menurut prasasti Jiyu dan Petak, Ranawijaya mengaku bahwa ia telah mengalahkan Kertabhumi [21]
dan memindahkan ibu kota ke Daha (Kediri). Peristiwa ini memicu perang
antara Daha dengan Kesultanan Demak, karena penguasa Demak adalah
keturunan Kertabhumi. Peperangan ini dimenangi Demak pada tahun 1527.[22]
Sejumlah besar abdi istana, seniman, pendeta, dan anggota keluarga
kerajaan mengungsi ke pulau Bali. Pengungsian ini kemungkinan besar
untuk menghindari pembalasan dan hukuman dari Demak akibat selama ini
mereka mendukung Ranawijaya melawan Kertabhumi.
Dengan jatuhnya Daha yang dihancurkan
oleh Demak pada tahun 1527, kekuatan kerajaan Islam pada awal abad ke-16
akhirnya mengalahkan sisa kerajaan Majapahit[23]. Demak
dibawah pemerintahan Raden (kemudian menjadi Sultan) Patah (Fatah),
diakui sebagai penerus kerajaan Majapahit. Menurut Babad Tanah Jawi dan
tradisi Demak, legitimasi Raden Patah karena ia adalah putra raja
Majapahit Brawijaya V dengan seorang putri China.
Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis
(Tome Pires), dan Italia (Pigafetta) mengindikasikan bahwa telah terjadi
perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan
Adipati Unus, penguasa dari Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521
M[21].
Demak memastikan posisinya sebagai
kekuatan regional dan menjadi kerajaan Islam pertama yang berdiri di
tanah Jawa. Saat itu setelah keruntuhan Majapahit, sisa kerajaan Hindu
yang masih bertahan di Jawa hanya tinggal kerajaan Blambangan di ujung
timur, serta Kerajaan Sunda yang beribukota di Pajajaran di bagian
barat. Perlahan-lahan Islam mulai menyebar seiring mundurnya masyarakat
Hindu ke pegunungan dan ke Bali. Beberapa kantung masyarakat Hindu
Tengger hingga kini masih bertahan di pegunungan Tengger, kawasan Bromo
dan Semeru
Kebudayaan
Gapura Bajang Ratu, diduga kuat menjadi gerbang masuk keraton Majapahit. Bangunan ini masih tegak berdiri di kompleks Trowulan.
“Dari semua bangunan, tidak ada yang tiang yang luput dari ukiran halus dan warna indah” [Dalam lingkungan dikelilingi tembok] “terdapat pendopo anggun beratap serat aren, indah bagai pemandangan dalam lukisan… Kelopak bunga katangga gugur tertiup angin dan bertaburan di atas atap. Atap itu bagaikan rambut gadis yang berhiaskan bunga, menyenangkan hati siapa saja yang memandangnya”.
— Gambaran ibu kota Majapahit kutipan dari Nagarakertagama.
Nagarakretagama menyebutkan budaya
keraton yang adiluhung dan anggun, dengan cita rasa seni dan sastra yang
halus, serta sistem ritual keagamaan yang rumit. Peristiwa utama dalam
kalender tata negara digelar tiap hari pertama bulan Caitra
(Maret-April) ketika semua utusan dari semua wilayah taklukan Majapahit
datang ke istana untuk membayar upeti atau pajak. Kawasan Majapahit
secara sederhana terbagi dalam tiga jenis: keraton termasuk kawasan ibu
kota dan sekitarnya; wilayah-wilayah di Jawa Timur dan Bali yang secara
langsung dikepalai oleh pejabat yang ditunjuk langsung oleh raja; serta
wilayah-wilayah taklukan di kepulauan Nusantara yang menikmati otonomi
luas.[24]
Ibu kota Majapahit di Trowulan merupakan
kota besar dan terkenal dengan perayaan besar keagamaan yang
diselenggarakan setiap tahun. Agama Buddha, Siwa, dan Waisnawa (pemuja
Wisnu) dipeluk oleh penduduk Majapahit, dan raja dianggap sekaligus
titisan Buddha, Siwa, maupun Wisnu. Nagarakertagama sama sekali tidak
menyinggung tentang Islam, akan tetapi sangat mungkin terdapat beberapa
pegawai atau abdi istana muslim saat itu.[2]
Walaupun batu bata telah digunakan dalam candi pada masa sebelumnya, arsitek Majapahitlah yang paling ahli menggunakannya[25].
Candi-candi Majapahit berkualitas baik secara geometris dengan
memanfaatkan getah tumbuhan merambat dan gula merah sebagai perekat batu
bata. Contoh candi Majapahit yang masih dapat ditemui sekarang adalah
Candi Tikus dan Gapura Bajang Ratu di Trowulan, Mojokerto.
“…. Raja [Jawa] memiliki bawahan tujuh raja bermahkota. [Dan] pulaunya berpenduduk banyak, merupakan pulau terbaik kedua yang pernah ada…. Raja pulau ini memiliki istana yang luar biasa mengagumkan. Karena sangat besar, tangga dan bagian dalam ruangannya berlapis emas dan perak, bahkan atapnya pun bersepuh emas. Kini Khan Agung dari China beberapa kali berperang melawan raja ini; akan tetapi selalu gagal dan raja ini selalu berhasil mengalahkannya.”
— Gambaran Majapahit menurut Mattiussi (Pendeta Odorico da Pordenone).[26]
Catatan yang berasal dari sumber Italia
mengenai Jawa pada era Majapahit didapatkan dari catatan perjalanan
Mattiussi, seorang pendeta Ordo Fransiskan dalam bukunya: “Perjalanan
Pendeta Odorico da Pordenone”. Ia mengunjungi beberapa tempat di
Nusantara: Sumatera, Jawa, dan Banjarmasin di Kalimantan. Ia dikirim
Paus untuk menjalankan misi Katolik di Asia Tengah. Pada 1318 ia
berangkat dari Padua, menyeberangi Laut Hitam dan menembus Persia, terus
hingga mencapai Kolkata, Madras, dan Srilanka. Lalu menuju kepulauan
Nikobar hingga mencapai Sumatera, lalu mengunjungi Jawa dan Banjarmasin.
Ia kembali ke Italia melalui jalan darat lewat Vietnam, China, terus
mengikuti Jalur Sutra menuju Eropa pada 1330.
Di buku ini ia menyebut kunjungannya di
Jawa tanpa menjelaskan lebih rinci tempat yang ia kunjungi. Disebutkan
raja Jawa menguasai tujuh raja bawahan. Disebutkan juga di pulau ini
terdapat banyak cengkeh, kemukus, pala, dan berbagai rempah-rempah
lainnya. Ia menyebutkan istana raja Jawa sangat mewah dan mengagumkan,
penuh bersepuh emas dan perak. Ia juga menyebutkan raja Mongol beberapa
kali berusaha menyerang Jawa, tetapi selalu gagal dan berhasil diusir
kembali. Kerajaan Jawa yang disebutkan disini tak lain adalah Majapahit
yang dikunjungi pada suatu waktu dalam kurun 1318-1330 pada masa
pemerintahan Jayanegara.
Ekonomi
Celengan zaman Majapahit, abad 14-15 Masehi Trowulan, Jawa Timur. (Koleksi Museum Gajah, Jakarta)
Majapahit merupakan negara agraris dan sekaligus negara perdagangan[14].
Pajak dan denda dibayarkan dalam uang tunai. Ekonomi Jawa telah
sebagian mengenal mata uang sejak abad ke-8 pada masa kerajaan Medang
yang menggunakan butiran dan keping uang emas dan perak. Sekitar tahun
1300, pada masa pemerintahan raja pertama Majapahit, sebuah perubahan
moneter penting terjadi: keping uang dalam negeri diganti dengan uang
“kepeng” yaitu keping uang tembaga impor dari China. Pada November 2008
sekitar 10.388 keping koin China kuno seberat sekitar 40 kilogram digali
dari halaman belakang seorang penduduk di Sidoarjo. Badan Pelestarian
Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur memastikan bahwa koin tersebut
berasal dari era Majapahit.[27] Alasan penggunaan uang logam
atau koin asing ini tidak disebutkan dalam catatan sejarah, akan tetapi
kebanyakan ahli menduga bahwa dengan semakin kompleksnya ekonomi Jawa,
maka diperlukan uang pecahan kecil atau uang receh dalam sistem mata
uang Majapahit agar dapat digunakan dalam aktivitas ekonomi sehari-hari
di pasar Majapahit. Peran ini tidak cocok dan tidak dapat dipenuhi oleh
uang emas dan perak yang mahal.[24]
Beberapa gambaran mengenai skala ekonomi
dalam negeri Jawa saat itu dikumpulkan dari berbagai data dan prasasti.
Prasasti Canggu yang berangka tahun 1358 menyebutkan sebanyak 78 titik
perlintasan berupa tempat perahu penyeberangan di dalam negeri (mandala
Jawa).[24] Prasasti dari masa Majapahit menyebutkan berbagai
macam pekerjaan dan spesialisasi karier, mulai dari pengrajin emas dan
perak, hingga penjual minuman, dan jagal atau tukang daging. Meskipun
banyak di antara pekerjaan-pekerjaan ini sudah ada sejak zaman
sebelumnya, namun proporsi populasi yang mencari pendapatan dan bermata
pencarian di luar pertanian semakin meningkat pada era Majapahit.
Menurut catatan Wang Ta-yuan, pedagang
Tiongkok, komoditas ekspor Jawa pada saat itu ialah lada, garam, kain,
dan burung kakak tua, sedangkan komoditas impornya adalah mutiara, emas,
perak, sutra, barang keramik, dan barang dari besi. Mata uangnya dibuat
dari campuran perak, timah putih, timah hitam, dan tembaga[28].
Selain itu, catatan Odorico da Pordenone, biarawan Katolik Roma dari
Italia yang mengunjungi Jawa pada tahun 1321, menyebutkan bahwa istana
raja Jawa penuh dengan perhiasan emas, perak, dan permata. [29]
Kemakmuran Majapahit diduga karena dua
faktor. Faktor pertama; lembah sungai Brantas dan Bengawan Solo di
dataran rendah Jawa Timur utara sangat cocok untuk pertanian padi. Pada
masa jayanya Majapahit membangun berbagai infrastruktur irigasi,
sebagian dengan dukungan pemerintah. Faktor kedua; pelabuhan-pelabuhan
Majapahit di pantai utara Jawa mungkin sekali berperan penting sebagai
pelabuhan pangkalan untuk mendapatkan komoditas rempah-rempah Maluku.
Pajak yang dikenakan pada komoditas rempah-rempah yang melewati Jawa
merupakan sumber pemasukan penting bagi Majapahit.[24]
Nagarakretagama menyebutkan bahwa
kemashuran penguasa Wilwatikta telah menarik banyak pedagang asing, di
antaranya pedagang dari India, Khmer, Siam, dan China. Pajak khusus
dikenakan pada orang asing terutama yang menetap semi-permanen di Jawa
dan melakukan pekerjaan selain perdagangan internasional. Majapahit
memiliki pejabat sendiri untuk mengurusi pedagang dari India dan
Tiongkok yang menetap di ibu kota kerajaan maupun berbagai tempat lain
di wilayah Majapahit di Jawa[30].
Struktur pemerintahan
Majapahit memiliki struktur pemerintahan
dan susunan birokrasi yang teratur pada masa pemerintahan Hayam Wuruk,
dan tampaknya struktur dan birokrasi tersebut tidak banyak berubah
selama perkembangan sejarahnya [31]. Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia dan ia memegang otoritas politik tertinggi.
Aparat birokrasi
Raja dibantu oleh sejumlah pejabat
birokrasi dalam melaksanakan pemerintahan, dengan para putra dan kerabat
dekat raja memiliki kedudukan tinggi. Perintah raja biasanya diturunkan
kepada pejabat-pejabat di bawahnya, antara lain yaitu:
-
- Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra raja
- Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang melaksanakan pemerintahan
- Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan
- Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan
Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi.
Pejabat ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri yang bersama-sama
raja dapat ikut melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu,
terdapat pula semacam dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para
sanak saudara raja, yang disebut Bhattara Saptaprabhu.
Pembagian wilayah
Di bawah raja Majapahit terdapat pula sejumlah raja daerah, yang disebut Paduka Bhattara.
Mereka biasanya merupakan saudara atau kerabat dekat raja dan bertugas
dalam mengumpulkan penghasilan kerajaan, penyerahan upeti, dan
pertahanan kerajaan di wilayahnya masing-masing. Dalam Prasasti Wingun
Pitu (1447 M) disebutkan bahwa pemerintahan Majapahit dibagi menjadi 14
daerah bawahan, yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Bhre.[32] Daerah-daerah bawahan tersebut yaitu:
|
|
|
|
|
Raja-raja Majapahit
Silsilah wangsa Rajasa, keluarga penguasa Singhasari dan Majapahit. Penguasa ditandai dalam gambar ini.[33]
Berikut adalah daftar penguasa Majapahit.
Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara pemerintahan
Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin
diakibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan
Majapahit menjadi dua kelompok[7].
- Raden Wijaya, bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293 – 1309)
- Kalagamet, bergelar Sri Jayanagara (1309 – 1328)
- Sri Gitarja, bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 – 1350)
- Hayam Wuruk, bergelar Sri Rajasanagara (1350 – 1389)
- Wikramawardhana (1389 – 1429)
- Suhita (1429 – 1447)
- Kertawijaya, bergelar Brawijaya I (1447 – 1451)
- Rajasawardhana, bergelar Brawijaya II (1451 – 1453)
- Purwawisesa atau Girishawardhana, bergelar Brawijaya III (1456 – 1466)
- Bhre Pandansalas, atau Suraprabhawa, bergelar Brawijaya IV (1466 – 1468)
- Bhre Kertabumi, bergelar Brawijaya V (1468 – 1478)
- Girindrawardhana, bergelar Brawijaya VI (1478 – 1498)
- Hudhara, bergelar Brawijaya VII (1498-1518)[34]
Warisan sejarah
Arca pertapa Hindu dari masa Majapahit akhir. Koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman.
Majapahit telah menjadi sumber inspirasi kejayaan masa lalu bagi bangsa-bangsa Nusantara pada abad-abad berikutnya.
Legitimasi politik
Kesultanan-kesultanan Islam Demak,
Pajang, dan Mataram berusaha mendapatkan legitimasi atas kekuasaan
mereka melalui hubungan ke Majapahit. Demak menyatakan legitimasi
keturunannya melalui Kertabhumi; pendirinya, Raden Patah, menurut
babad-babad keraton Demak dinyatakan sebagai anak Kertabhumi dan seorang
Putri Cina, yang dikirim ke luar istana sebelum ia melahirkan.
Penaklukan Mataram atas Wirasaba tahun 1615 yang dipimpin langsung oleh
Sultan Agung sendiri memiliki arti penting karena merupakan lokasi
ibukota Majapahit. Keraton-keraton Jawa Tengah memiliki tradisi dan
silsilah yang berusaha membuktikan hubungan para rajanya dengan keluarga
kerajaan Majapahit — sering kali dalam bentuk makam leluhur, yang di
Jawa merupakan bukti penting — dan legitimasi dianggap
meningkat melalui hubungan tersebut. Bali secara khusus mendapat
pengaruh besar dari Majapahit, dan masyarakat Bali menganggap diri
mereka penerus sejati kebudayaan Majapahit.[25]
Para penggerak nasionalisme Indonesia
modern, termasuk mereka yang terlibat Gerakan Kebangkitan Nasional di
awal abad ke-20, telah merujuk pada Majapahit, disamping Sriwijaya,
sebagai contoh gemilang masa lalu Indonesia. Majapahit kadang dijadikan
acuan batas politik negara Republik Indonesia saat ini.[14]
Dalam propaganda yang dijalankan tahun 1920-an, Partai Komunis Indonesia
menyampaikan visinya tentang masyarakat tanpa kelas sebagai penjelmaan
kembali dari Majapahit yang diromantiskan.[35]Sukarno juga
mengangkat Majapahit untuk kepentingan persatuan bangsa, sedangkan Orde
Baru menggunakannya untuk kepentingan perluasan dan konsolidasi
kekuasaan negara.[36] Sebagaimana Majapahit, negara Indonesia modern meliputi wilayah yang luas dan secara politik berpusat di pulau Jawa.
Arsitektur
Sepasang patung penjaga gerbang abad ke-14 dari kuil Majapahit di Jawa Timur (Museum of Asian Art, San Francisco)
Majapahit memiliki pengaruh yang nyata dan berkelanjutan dalam bidang arsitektur di Indonesia. Penggambaran bentuk paviliun (pendopo) berbagai bangunan di ibukota Majapahit dalam kitab Negarakretagama
telah menjadi inspirasi bagi arsitektur berbagai bangunan keraton di
Jawa serta Pura dan kompleks perumahan masyarakat di Bali masa kini.
Persenjataan
Pada zaman Majapahit terjadi
perkembangan, pelestarian, dan penyebaran teknik pembuatan keris berikut
fungsi sosial dan ritualnya. Teknik pembuatan keris mengalami
penghalusan dan pemilihan bahan menjadi semakin selektif. Keris
pra-Majapahit dikenal berat namun semenjak masa ini dan seterusnya,
bilah keris yang ringan tetapi kuat menjadi petunjuk kualitas sebuah
keris. Penggunaan keris sebagai tanda kebesaran kalangan aristokrat juga
berkembang pada masa ini dan meluas ke berbagai penjuru Nusantara,
terutama di bagian barat.
Selain keris, berkembang pula teknik pembuatan dan penggunaan tombak.
artikel ini disalin lengkap dari: https://legendanusantara.wordpress.com/kerajaan-hindu-buddha/kerajaan-majapahit/
halaman utama website: https://legendanusantara.wordpress.com/
jika mencari artikel yang lebih menarik lagi, kunjungi halaman utama website tersebut. Terimakasih!
No comments:
Post a Comment