PENDAHULUAN
Keanekaragaman genetik merupakan sumber daya perekonomian, pariwisata,
kesehatan, dan budaya. Keberadaan keanekaragaman genetik itu sendiri
tidak merata di setiap wilayah, bergantung pada ekosistem wilayahnya
(Wardana 2002).
Penggunaan varietas unggul telah berhasil meningkatkan produksi
pertanian, tetapi tanpa disadari keberhasilan tersebut ternyata
memerlukan pengorbanan yang tidak sedikit, antara lain berupa hilangnya
sumber daya genetik yang sebagian besar belum teridentifikasi, terutama
yang ada di kawasan hutan. Hilangnya sejumlah varietas lokal yang sudah
berabad-abad beradaptasi pada berbagai ekosistem adalah salah satu
kerugian yang disebabkan oleh eksploitasi hutan.
Word Conservation Monitoring Center melaporkan
bahwa Indonesia merupakan kawasan yang sangat penting karena kaya akan
tumbuhan obat. Jumlah tumbuhan obat yang telah dimanfaatkan adalah 2.518
jenis (EISAI 1995). Sedikitnya terdapat 3.000 jenis tumbuhan obat yang
telah berhasil diidentifikasi (Zuhud 1998; Zuhud dan Hikmat 1998).
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama yang berhubungan
dengan genom, bioinformatika, dan biologi molekuler, sangat berguna bagi
pengobatan penyakit, kecukupan pangan, pakan, papan, dan sandang.
Keadaan ini dapat memacu kegiatan eksplorasi dan pemanfaatan sumber daya
genetik. Di lain pihak, dengan meningkatnya pengembangan plasma nutfah
yang mempunyai nilai ekonomis dapat mengancam keanekaragaman plasma
nutfah yang relatif kurang produktif. Ancaman tersebut dapat disebabkan
karena kalah bersaing atau pemanfaatan yang kurang. Punahnya plasma
nutfah berpengaruh negatif terhadap kesejahteraan manusia generasi
mendatang. Dalam sejarah perkembangan farmasi, tumbuhan obat merupakan
sumber senyawa bioaktif yang berkhasiat mengobati berbagai jenis
penyakit.
Hingga saat ini, sumber alam nabati masih tetap merupakan sumber bahan
kimia baru yang tidak terbatas, baik senyawa isolat murni yang dipakai
langsung (misalnya alkaloida morfin, papaverin) mau pun melalui
derivatisasi menjadi senyawa bioaktif turunan yang lebih baik, dalam
arti lebih potensial dan atau lebih aman, misalnya molekul artemisinin
dari Tanaman Artemisia annua L. Dideritivatisasi menjadi artemisinin eter yang lebih efektif terhadap penyakit malaria dan kurang toksik (Sinambela 2002)
Tumbuhan obat di Indonesia merupakan salah satu kelompok komoditas
hutan dan kebun yang erosi genetiknya tergolong pesat. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (1) kerusakan habitat yang
disebabkan oleh desakan kebutuhan lahan untuk produksi maupun tempat
tinggal, pemanfaatan hasil hutan untuk industri maupun tempat tinggal
sehingga habitat tumbuhan obat terganggu, (2) kurangnya perhatian
terhadap budi daya tanaman obat
terutama
untuk jenis-jenis yang digunakan dalam jumlah kecil, dan (3) kemampuan
regenerasi tumbuhan obat yang lambat, terutama jenis tumbuhan tahunan,
terlebih lagi yang diambil dari alam (Djauhariya dan Sukarman 2002).
Rifai et al. (1992) melaporkan bahwa 30 jenis tumbuhan obat di Indonesia sudah termasuk langka, di antaranya Alstonia scholaris, Rouvolfia serpentina, Cinamomum sintoc, dan Parkia roxburghi. Dan salah satu jenis tumbuhan Liana, yaitu Pulasari (Jafarsidik 1987; Rifai et al. 1992).
Dewasa ini erosi genetik terus berlangsung sebagai akibat gangguan alam
dan ulah manusia, berupa penebangan liar yang tidak bertanggung jawab
(Rifai 1983). Meningkatnya kebutuhan manusia telah mengarahkan tingkat
kepedulian mereka terhadap lingkungan yang semakin terbatas dan akan
mendorong terjadinya perambahan dan perusakan hutan.
Mengingat tingginya aktivitas manusia di kawasan hutan maka
inventarisasi dan konservasi tumbuhan obat yang terdapat di kawasan
tersebut, khususnya yang tergolong langka, perlu dielimininasi. Salah
satu bentuk perlindungan terhadap keanekaragaman hayati adalah dengan
melaksanakan konservasi secara in situ maupun ex situ. Menurut Mac Kinnon dalam Alikodra
(2000), sistem konservasi dapat dicapai melalui cara berikut (1)
menjaga proses dan menopang kehidupan yang penting bagi kelangsungan
hidup manusia dan pembangunan, (2) melestarikan keanekaragaman plasma
nutfah yang penting bagi program pemuliaan, dan (3) menjamin
kesinambungan pendayagunaan spesies dan ekosistem oleh manusia yang
mendukung kehidupan jutaan penduduk pedesaan serta dapat menopang
sejumlah besar industri.
Tanaman obat di Kalimantan Tengah menyebar di daerah pedalaman dan
kawasan hutan yang merupakan habitat alami tanaman tersebut. Sebagian
kecil masyarakat Kalimantan Tengah sudah mengusahakan tanaman obat dari
kawasan tersebut sebagai obat tradisional yang diambil baik dari akar,
daun maupun buah, tetapi belum terinventarisasi dengan baik. Oleh karena
itu, perlu dilakukan kegiatan untuk melindungi dan menginventarisasi
tanaman obat sebagai pengetahuan tradisional dan kekayaan intelektual
dengan baik, sehingga pada saat diperlukan dapat digunakan sebagai
referensi. Tujuan kegiatan ini adalah untuk eksplorasi, inventarisasi,
dan karakterisasi tanaman obat yang tersebar di Kalimantan Tengah, serta
untuk mengetahui wilayah penyebaran spesies liar, dan mengoleksi secara
ex situ tanaman obat.
BAHAN DAN METODE
Eksplorasi tanaman obat-obatan dilaksanakan mulai Mei 2011, di
Kabupaten Kapuas, dilaksanakan di Desa Dahirang, Kecamatan Kapuas Hilir.
Eksplorasi
Eksplorasi dilaksanakan secara bertahap dengan mengandalkan nara sumber
dan sumber informasi, baik langsung dari pemberi informasi utama (key informan)
maupun data kepustakaan (Bompard dan Kostermans 1985; Purnomo 1987).
Dalam kaitan ini dilakukan penggalian informasi keberadaan contoh
tanaman, pengumpulan contoh tanaman dan deskripsi tanaman, konservasi
contoh tanaman hasil eksplorasi. Eksplorasi didukung oleh keterangan
petani tentang preferensi mereka terhadap plasma nutfah. Keterangan dari
petani berupa tempat tumbuh tanaman yang akan dijadikan pertimbangan
dalam karakterisasi dan deskripsi. Eksplorasi adalah kegiatan pelacakan
atau penjelajahan guna mencari, mengumpulkan, dan meneliti jenis plasma
nutfah tertentu untuk mengamankan dari kepunahan (Kusumo et al. 2002).
Plasma nutfah yang ditemukan diamati sifat fisik asalnya. Eksplorasi
merupakan langkah awal dari konservasi tanaman. Kegiatan tersebut
diawali dengan inventarisasi tanaman buah-buahan yang belum dikoleksi
dan tanaman obat yang ada di Kalimantan Tengah, baik yang sudah
dibudidayakan maupun spesies liarnya.
Langkah pertama praeksplorasi adalah mencari informasi ke dinas-dinas
dan instansi terkait lainnya untuk memperoleh informasi tentang jenis
dan habitat tumbuhnya. Informasi ini kemudian dikembangkan pada saat
eksplorasi ke lokasi sasaran yang umumnya daerah asal dan penyebaran
jenis tanaman.
Plasma nutfah tanaman hasil eksplorasi dipelihara di kebun koleksi.
Tanaman koleksi diamati pertumbuhannya, diukur semua organ tanaman, dan
dicatat sifat-sifat morfologinya. Bahan yang dikumpulkan berupa bibit,
biji, dan umbi.
Konservasi
Untuk mempertahankan sumber daya genetik yang ada dilakukan usaha pelestarian plasma nutfah secara ex situ dalam bentuk kebun koleksi, visitor plot, dan pot-pot pemeliharaan.
Karakterisasi dan Evaluasi
Hasil eksplorasi tanaman kemudian dibuat karakterisasinya meliputi
bentuk tanaman, letak daun, bentuk daun, warna daun, tepi daun,
permukaan daun, warna bunga, letak bunga, bentuk buah, bagian tanaman
yang bermanfaat, dan khasiatnya. Karakterisasi tanaman berada dalam
kondisi lingkungan optimal agar dapat tumbuh dengan baik. Sifatsifat
kuantitatif yang diamati antara lain adalah tinggi tanaman, hasil dan
komponen hasil. Karakterisasi dilakukan dengan mengidentifikasi sifat
fisik dan sifat fisiologi spesifik dari tanaman yang ditemukan, termasuk
potensial hasilnya.
artikel ini disalin lengkap dari: http://blogriswanto.blogspot.co.id/2011/06/ekspedisi-tanaman-obat-spesifik_14.html
halaman utama website: http://blogriswanto.blogspot.co.id/
jika mencari artikel yang lebih menarik lagi, kunjungi halaman utama website tersebut. Terimakasih!
No comments:
Post a Comment