Ayat-ayat itu mengisahkan tentang peristiwa Isra' Mi'raj
Nabi Muhammad SAW. Isra' adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW
dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsha di
Palestina. Mi'raj adalah perjalanan dari masjidil Aqsha ke
Sidratul Muntaha. Sidratul muntaha secara harfiah berarti
'tumbuhan sidrah yang tak terlampaui', suatu perlambang
batas yang tak ada manusia atau makhluk lainnya bisa
mengetahui lebih jauh lagi. Hanya Allah yang tahu hal-hal
yang lebih jauh dari batas itu. Sedikit sekali penjelasan
dalam Al-Qur'an dan hadits yang menerangkan apa, di mana,
dan bagaimana sidratul muntaha itu.
Di dalam kisah yang agak lebih rinci di dalam hadits
disebutkan bahwa Sidratul Muntaha dilihat oleh Nabi setelah
mencapai langit ke tujuh. Dari kisah itu orang mungkin
bertanya- tanya di manakah langit ke tujuh itu. Mungkin
sekali ada yang mengira langit di atas itu berlapis-lapis
sapai tujuh dan Sidratul Muntaha ada di lapisan teratas.
Benarkah itu? Tulisan ini mencoba membahasnya berdasarkan
perkembangan ilmu pengetahuan saat ini.
Sekilas Kisah Isra' Mi'raj
Di dalam beberapa hadits sahih disebutkan bahwa Nabi
Muhammad SAW melakukan isra' dan mi'raj dengan menggunakan
"buraq". Di dalam hadits hanya disebutkan bahwa buraq adalah
'binatang' berwarna putih yang langkahnya sejauh pandangan
mata. Ini menunjukkan bahwa "kendaraan" yang membawa Nabi
SAW dan Malaikat Jibril mempunyai kecepatan tinggi.
Apakah buraq sesungguhnya? Tidak ada penjelasan yang
lebih rinci. Cerita israiliyat yang menyatakan bahwa buraq
itu seperti kuda bersayap berwajah wanita sama sekali tidak
ada dasarnya. Sayangnya, gambaran ini sampai sekarang masih
diikuti oleh sebagian masyarakat, teruatam di desa-desa.
Dengan buraq itu Nabi melakukan isra' dari Masjidil Haram
di Mekkah ke Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis) di Palestina.
Setelah melakukan salat dua rakaat dan meminum susu yang
ditawarkan Malaikat Jibril Nabi melanjutkan perjalanan
mi'raj ke Sidratul Muntaha.
Nabi SAW dalam perjalanan mi'raj mula-mula memasuki
langit dunia. Di sana dijumpainya Nabi Adam yang dikanannya
berjejer para ruh ahli surga dan di kirinya para ruh ahli
neraka. Perjalanan diteruskan ke langit ke dua sampai ke
tujuh. Di langit ke dua dijumpainya Nabi Isa dan Nabi Yahya.
Di langit ke tiga ada Nabi Yusuf. Nabi Idris dijumpai di
langit ke empat. Lalu Nabi SAW bertemu dengan Nabi Harun di
langit ke lima, Nabi Musa di langit ke enam, dan Nabi
Ibrahim di langit ke tujuh. Di langit ke tujuh dilihatnya
baitul Ma'mur, tempat 70.000 malaikat salat tiap harinya,
setiap malaikat hanya sekali memasukinya dan tak akan pernah
masuk lagi.
Perjalanan dilanjutkan ke Sidratul Muntaha. Dari Sidratul
Muntaha didengarnya kalam-kalam ('pena'). Dari sidratul
muntaha dilihatnya pula empat sungai, dua sungai non-fisik
(bathin) di surga, dua sungai fisik (dhahir) di dunia:
sungai Efrat di Iraq dan sungai Nil di Mesir.
Jibril juga mengajak Nabi melihat surga yang indah.
Inilah yang dijelaskan pula dalam Al-Qur'an surat An-Najm.
Di Sidratul Muntaha itu pula Nabi melihat wujud Jibril yang
sebenarnya. Puncak dari perjalanan itu adalah diterimanya
perintah salat wajib.
Mulanya diwajibkan salat lima puluh kali sehari-semalam.
Atas saran Nabi Musa, Nabi SAW meminta keringan dan
diberinya pengurangan sepuluh-sepuluh setiap meminta.
Akhirnya diwajibkan lima kali sehari semalam. Nabi enggan
meminta keringanan lagi, "Saya telah meminta keringan kepada
Tuhanku, kini saya rela dan menyerah." Maka Allah berfirman,
"Itulah fardlu-Ku dan Aku telah meringankannya atas
hamba-Ku."
Di manakah Tujuh Langit
Konsep tujuh lapis langit sering disalahartikan. Tidak
jarang orang membayangkan langit berlapis-lapis dan
berjumlah tujuh. Kisah isra' mi'raj dan sebutan "sab'ah
samawat" (tujuh langit) di dalam Al-Qur'an sering dijadikan
alasan untuk mendukung pendapat adanya tujuh lapis langit
itu.
Ada tiga hal yang perlu dikaji dalam masalah ini. Dari
segi sejarah, segi makna "tujuh langit", dan hakikat langit
dalam kisah Isra' mi'raj.
Sejarah Tujuh Langit
Dari segi sejarah, orang-orang dahulu --jauh sebelum Al-
Qur'an diturunkan-- memang berpendapat adanya tujuh lapis
langit. Ini berkaitan dengan pengetahuan mereka bahwa ada
tujuh benda langit utama yang jaraknya berbeda-beda.
Kesimpulan ini berdasarkan pengamatan mereka atas gerakan
benda-benda langit. Benda-benda langit yang lebih cepat
geraknya di langit dianggap lebih dekat jaraknya. Lalu ada
gambaran seolah-olah benda-benda langit itu berada pada
lapisan langit yang berbeda-beda.
Di langit pertama ada bulan, benda langit yang bergerak
tercepat sehingga disimpulkan sebagai yang paling dekat.
Langit ke dua ditempati Merkurius (bintang Utarid). Venus
(bintang kejora) berada di langit ke tiga. Sedangkan
matahari ada di langit ke empat. Di langit ke lima ada Mars
(bintang Marikh). Di langit ke enam ada Jupiter (bintang
Musytari). Langit ke tujuh ditempati Saturnus (bintang
Siarah/Zuhal). Itu keyakinan lama yang menganggap bumi
sebagai pusat alam semesta.
Orang-orang dahulu juga percaya bahwa ke tujuh
benda-benda langit itu mempengaruhi kehidupan di bumi.
Pengaruhnya bergantian dari jam ke jam dengan urutan mulai
dari yang terjauh, Saturnus, sampai yang terdekat, bulan.
Karena itu hari pertama itu disebut Saturday (hari Saturnus)
dalam bahasa Inggris atau Doyoubi (hari Saturnus/Dosei)
dalam bahasa Jepang. Dalam bahasa Indonesia Saturday adalah
Sabtu. Ternyata, kalau kita menghitung hari mundur sampai
tahun 1 Masehi, tanggal 1 Januari tahun 1 memang jatuh pada
hari Sabtu.
Hari-hari yang lain dipengaruhi oleh benda-benda langit
yang lain. Secara berurutan hari-hari itu menjadi Hari
Matahari (Sunday, Ahad), Hari Bulan (Monday, Senin), Hari
Mars (Selasa), Hari Merkurius (Rabu), Hari Jupiter (Kamis),
dan Hari Venus (Jum'at). Itulah asal mula satu pekan menjadi
tujuh hari.
Jumlah tujuh hari itu diambil juga oleh orang-orang Arab.
Dalam bahasa Arab nama-nama hari disebut berdasarkan urutan:
satu, dua, tiga, ..., sampai tujuh, yakni ahad, itsnaan,
tsalatsah, arba'ah, khamsah, sittah, dan sab'ah. Bahasa
Indonesia mengikuti penamaan Arab ini sehingga menjadi Ahad,
Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum'at, dan Sabtu. Hari ke enam
disebut secara khusus, Jum'at, karena itulah penamaan yang
diberikan Allah di dalam Al-Qur'an yang menunjukkan adanya
kewajiban salat Jum'at berjamaah.
Penamaan Minggu berasal dari bahasa Portugis Dominggo
yang berarti hari Tuhan. Ini berdasarkan kepercayaan Kristen
bahwa pada hari itu Yesus bangkit. Tetapi orang Islam tidak
mempercayai hal itu, karenanya lebih menyukai pemakaian
"Ahad" daripada "Minggu".
Makna Tujuh Langit
Langit (samaa' atau samawat) di dalam Al-Qur'an berarti
segala yang ada di atas kita, yang berarti pula angkasa
luar, yang berisi galaksi, bintang, planet, batuan, debu dan
gas yang bertebaran. Dan lapisan-lapisan yang melukiskan
tempat kedudukan benda-benda langit sama sekali tidak ada.
Sedangkan warna biru bukanlah warna langit sesungguhnya.
Warna biru dihasilkan dari hamburan cahaya biru dari
matahari oleh atmosfer bumi.
Di dalam Al-Qur'an ungkapan 'tujuh' atau 'tujuh puluh'
sering mengacu pada jumlah yang tak terhitung. Misalnya, di
dalam Q.S. Al-Baqarah:261 Allah menjanjikan:
Siapa yang menafkahkan hartanya di jalan Allah
ibarat menanam sebiji benih yang menumbuhkan TUJUH
tangkai yang masing-masingnya berbuah seratus butir.
Allah MELIPATGANDAKAN pahala orang-orang yang
dikehendakinya....
Juga di dalam Q.S. Luqman:27:
Jika seandainya semua pohon di bumi dijadikan
sebagai pena dan lautan menjadi tintanya dan ditambahkan
TUJUH lautan lagi, maka tak akan habis Kalimat Allah....
Jadi 'tujuh langit' semestinya difahami pula sebagai
tatanan benda-benda langit yang tak terhitung banyaknya,
bukan sebagai lapisan-lapisan langit.
Tujuh langit pada Mi'raj
Kisah Isra' Mi'raj sejak lama telah minimbulkan
perdebatan soal tanggal pastinya dan apakah Nabi
melakukannya dengan jasad dan ruhnya atau ruhnya saja.
Demikian juga dengan hakikat langit. Muhammad Al Banna dari
Mesir menyatakan bahwa beberapa ahli tafsir berpendapat
Sidratul Muntaha itu adalah Bintang Syi'ra. Tetapi sebagian
lainnya, seperti Muhammad Rasyid Ridha dari Mesir,
berpendapat bahwa tujuh langit dalam kisah isra' mi'raj
adalah langit ghaib.
Dalam kisah mi'raj itu peristiwa lahiriyah bercampur
dengan peristiwa ghaib. Misalnya pertemuan dengan ruh para
Nabi, melihat dua sungai di surga dan dua sungai di bumi,
serta melihat Baitur Makmur, tempat ibadah para malaikat.
Jadi, nampaknya pengertian langit dalam kisah mi'raj itu
memang bukan langit lahiriyah yang berisi bintang-bintang,
tetapi langit ghaib.
|
No comments:
Post a Comment