Pencarian Bumi Baru

“Apakah ada planet lain yang mirip Bumi? Apakah kehidupan luar angkasa cerdas itu ada?”. Dua pertanyaan itu telah meracuni pikiran para ilmuwan, terutama pada dasawarsa-dasawarsa terakhir. Pertanyaan pertama pelan-pelan mulai terjawab, dengan adanya penemuan Gliese 581 g, atau hasil peneropongan teleskop Kepler yang memperkirakan ada sekitar 54 planet layak huni.
Meskipun keduanya masih diperdebatkan, namun paling tidak ini adalah sebuah langkah yang penting untuk menemukan jawaban yang pasti. Perkembangan teknologi teleskop, terutama diluncurkannya teleskop pengganti Hubble, James Watt, pada tahun 2015 nanti, akan sangat membantu, dan mempermudah analisis warna pada atmosfer untuk menentukan kandungan isi suatu planet.
Pertanyaan “planet” bisa diganti menjadi benda langit. Ingat bulan Pandora dalam film Avatar? Belum lagi, ada keyakinan bahwa saat matahari membesar, Titan, bulan dari Saturnus, akan menjadi seperti Bumi atau Pandora.
Tentu saja, pertanyaan ini dijawab dengan sadis oleh penganut hipotesis Bumi Langka. Mereka menyatakan bahwa ada banyak faktor penghalang, misalnya apabila sebuah planet ada di zona layak huni Proxima Centauri (bintang terdekat dari Tata Surya), planet tersebut akan “terkunci” saat mengorbit. Jadi, sisi planet yang satu akan tetap menghadap bintang, dan sisi lainnya tidak. Sisi yang satu akan terbakar dalam bara api, lainnya membeku dan sangat dingin. Kelayakan huni pun rusak. Bahkan pendukung teori tersebut mengatakan bahwa Bumi juga merupakan tempat yang “labil”, karena pijaran matahari bisa mengancam kita setiap saat. Argumen-argumen ini juga memengaruhi pertanyaan kedua, karena kedua pertanyaan ini saling berkaitan.
Sekarang, bagaimana dengan pertanyaan kedua, “Apakah kehidupan luar angkasa yang cerdas itu ada?”. Logika sederhana kita pasti menjawab demikian, “Alam semesta ini sangatlah luas sekali, jadi tidak mungkin kalau kehidupan hanya ada di pojok yang merupakan “Titik Biru Pucat” ini. Pastilah kemungkinan keberadaan kehidupan cerdas di luar angkasa itu tinggi.” Terdengar menjanjikan bukan?
Belum lagi, kita tahu bahwa di dasar Europa (bulan dari Yupiter) ada samudra yang luas, sehingga kemungkinan kehidupan cukup menjanjikan, asal mereka mampu beradaptasi dengan radiasi Yupiter. Penemuan fosil bakteri dari Mars dan asteroid, terlepas dari kebenarannya, juga memberikan kita keoptimistisan akan banyaknya makhluk-makhluk asing di luar sana. Sayangnya, kehidupan-kehidupan tersebut masih dalam bentuk primitif, dan belum berkembang menjadi cerdas seperti kita, homo sapiens.
Selanjutnya muncul fisikawan Enrico Fermi, yang mengajukan paradoks Fermi. Ia bertanya, “apabila memang ada banyak kehidupan cerdas di Bima Sakti, mengapa tidak ada bukti yang bisa ditemukan?” Paradoks ini merupakan ketidakselarasan antara kemungkinan keberadaan peradaban luar angkasa cerdas yang tinggi dengan bukti keberadaan mereka (misalnya pesawat angkasa). “Bukti” sempat diajukan, seperti “sinyal” CTA-102 yang diajukan oleh Kardashev sebagai bukti adanya peradaban tinggi, sayangnya ia belum mengenal istilah kuasar saat itu.
Hawking mencoba menjawab paradoks fermi. Ia mengajukan tiga kemungkinan:
1) Kemungkinan kehidupan primitif muncul di planet yang layak itu rendah
2) Kemungkinan kehidupan primitif muncul mungkin tinggi, tapi kemungkinan menjadi cerdas rendah
3) Kehidupan menjadi cerdas, namun saat sudah dapat mengirim sinyal, mereka bisa membuat bom nuklir, dan menghancurkan diri sendiri.
Hawking lebih suka nomor dua. Namun tiga hal di atas hanyalah dalam tataran asumsi.
Paradoks Fermi telah menutup angin segar bagi kita yang mengharapkan ada banyak makhluk luar angkasa cerdas di luar sana. Kita tak bisa mengatakan kemungkinan keberadaan mereka itu tinggi, karena bukti berupa sinyal radio dari peradaban lain pun sama sekali tidak dapat kita temukan. Ternyata, ini belum apa-apa. Ada satu hal, yang akan membawa hawa kemuraman, dan akan sangat mengurangi kemungkinan banyaknya kehidupan cerdas di luar sana, karena keberadaan tempat layak huninya saja sudah sangat menyusut.
“Zona layak huni galaktik”, itulah istilahnya. Letak planet kita saat ini masuk dalam zona tersebut, karena cukup dekat dengan pusat galaksi agar tetap ada cukup elemen-elemen berat untuk mendukung pembentukan planet seperti Bumi, serta untuk kehidupan. Namun tempat kita juga cukup jauh dari pusat galaksi agar tidak terpengaruh ledakan sinar gamma dan radiasi, karena di pusat galaksi ada banyak bintang tua, tak stabil, dan mati.
Di galaksi kita, zona layak huni diperkirakan berada sejauh 25.000 tahun cahaya dari inti galaksi, dan lebarnya 6.000 tahun cahaya. Luas pada tiap galaksi tidak sama.
Kalau begini, jelaslah mengapa kita tidak menemukan bukti adanya peradaban cerdas, karena kemungkinan yang besar itu langsung menyusut. Maka untuk saat ini, hipotesis Bumi Langka tampak lebih meyakinkan, dan hanya ada sedikit tempat yang nyaman…. namun kita tidak pernah tahu. Kita tidak tahu, apakah kehidupan di luar saja juga berdasar pada DNA? Apakah mereka juga butuh air dan oksigen seperti kita? Kita tak pernah tahu….

artikel ini disalin lengkap dari: https://skepticalinquirer.wordpress.com/2014/05/17/finding-the-new-earth/
halaman utama website: https://skepticalinquirer.wordpress.com/
jika mencari artikel yang lebih menarik lagi, kunjungi halaman utama website tersebut. Terimakasih!

No comments:

Not Indonesian?

Search This Blog