Satelit russia, Mir




Bila cuaca cerah seusai shalat maghrib atau shubuh pada pekan ke tiga bulan Maret ini, perhatikanlah langit. Bila tampak sebuah “bintang” terang bergerak perlahan, bisa jadi itulah satelit Mir yang sedang melayang jatuh. Laboratorium antariksa Mir milik Rusia yang semula akan dijatuhkan 6 Maret 2001 akhirnya diundur menjadi sekitar 22 Maret.
Ada hikmahnya juga, sehingga pengamat di Indonesa Barat masih berkesempatan melihat Mir terakhir kalinya di langit. Sebelumnya, pada awal Maret hanya pengamat di Eropa dan Amerika Utara yang bisa mengamatinya. Kini mereka tidak bisa melihat lagi dan giliran jatuh pada pengamat di Asia, Australia, Amerika Selatan, dan Afrika bagian Selatan.
Mungkin inilah objek langit buatan manusia yang paling terang. Hal ini dimungkinkan karena Mir adalah satelit raksasa dan ketinggiannya kini hanya sekitar 230 km. Sambil mengitari bumi 16 kali per hari, saat ini Mir turun sekitar 2,5 km per hari. Makin hari makin cepat turunnya karena hambatan udara yang makin rapat sehingga lajunya terus diperlambat yang berakibat ketinggiannya makin merosot. Di samping harapan melihat satelit yang melayang relatif rendah, ada suatu kekhawatiran bila Mir yang berbobot 136 ton jatuhnya tidak terkendali. Bangkai satelit tersisa dan jatuh berserakan di permukaan bumi seberat 13 – 19 ton dikhawatirkan mengancam daerah berpenduduk.
Jatuhnya Mir
Setelah 15 tahun mengorbit bumi, Mir tidak bisa lagi dipertahankan. Mir yang dibangun secara bertahap kini menjadi komplek laboratorium antariksa raksasa. Bagian pertama dibangun 20 Februari 1986. Selama ini Mir telah disinggahi 31 pesawat antariksa, disuplai 64 pesawat kargo, dan sempat dihuni oleh 28 awak yang menetap lama. Jumlah peneliti yang sempat memanfaatkannya adalah 125 kosmonot/astronot dari 12 negara. Sampai dengan pertengahan Maret MIR telah mengitari bumi 86.200 kali. Dengan orbit hampir lingkaran, Mir hanya memerlukan waktu 89 menit untuk keliling dunia. Bidang orbitnya membentuk sudut 51,6 derajat terhadap bidang ekuator bumi. Itu berarti bila Mir jatuh tak terkendali akan mengancam sekitar 80 negara yang terletak antara 51,6 derajat lintang Utara sampai 51,6 derajat lintang Selatan. Indonesia termasuk daerah yang terancam.
Mir adalah satelit raksasa yang terdiri dari modul-modul yang semula mengorbit pada ketinggian 390 km. Modul utama berbentuk silinder berdiameter 4,15 meter sepanjang 15 meter dengan bobot 20 ton. Modul-modeul lainnya yang saat ini masih bersatu adalah modul Kvant1, Progress, Kvant2, Spektr, Priroda, dan Kristall. Modul Kvant1 adalah observatorium astrofisika berdiameter 4,15 dengan panjang 5,8 meter berbobot 11 ton. Progress adalah pesawat pensuplai berdiameter 2 meter dengan panjang 7,5 meter berbobot 7 ton. Mir (modul utama), Kvant1, dan Progress dipasang berderet. Spektr adalah modul penginderaan jauh untuk geofisika berbobot 20 ton. Kvant2 terakhir kali digunakan untuk tinggal astronot. Spektr dan Kvant2 dipasang mendatar tegak lurus di kanan kiri Mir.
Priroda adalah modul penginderaan jauh atmosfer untuk penelitian ozon dan aerosol. Priroda yang berbobot 20 ton berdiameter 4,35 dengan panjang 12 meter dipasang tegak lurus di atas Mir. Kemudian di bawahnya ada Kristall, modul laboratorium semikonduktor dan biologi yang berbobot 20 ton berdiameter 4,4 meter dengan panjang 12 meter. Soyuz (pesawat antariksa Rusia) biasa berlabuh di rangkaian modul Mir-Kvant1. Sedangkan pesawat ulang alik Amerika Serikat biasanya berlabuh pada rangkaian modul Kristall. Jadi saat ini kompleks laboratorium Mir  merupakan gerbong yang saling tegak lurus dengan panjang mendatar 32 meter, menyamping 30 meter, dan tegak 27 meter dengan bobot total 136 ton.
Seandainya tidak ada campur tangan stasiun pengendali, Mir akan jatuh sekitar 28 Maret dengan rentang kemungkinan 25 – 31 Maret. Rentang kemungkinan itu disebabkan karena kerapatan udara tidak bisa diprakirakan secara tepat karena dipengaruhi aktivitas matahari. Bila aktivitas matahari meningkat, kerapatan udara bertambah dan satelit lebih cepat turun. Tetapi Rusia tidak mungkin melepaskannya tanpa kendali. Sebab, bila dibiarkan jatuhnya bisa di mana saja, mungkin saja jatuh di kota berpenduduk padat. Oleh karenanya dibuat rencana deorbiting, yaitu penurunan dari orbitnya secara terkendali.
Rencana deorbiting semula ditetapkan sekitar 6 Maret pada saat ketinggiannya turun menjadi sekitar 250 km. Dengan sasaran jatuhnya di Pasifik Selatan, sebelah Timur Selandia baru. Wilayah itu memang biasa jadi lokasi pembuangan bangkai satelit karena di sana tidak ada pulau berpenduduk dan jauh dari jalur penerbangan atau pelayaran. Namun belakangan rencana deorbiting diubah menjadi sekitar 21 Maret (dengan rentang kemungkinan 21 – 23 Maret) pada saat ketinggian Mir sekitar 220 km. Alasan utama skenario baru adalah penghematan bahan bakar untuk pengendalian Mir.
Saat ini Mir dikendalikan dengan modul Progress M1-5 yang baru digandengkan pada 27 Januari 2001 lalu. Dengan Progress M1-5 itu Mir akan diberikan impuls (dorongan) untuk mengerem lajunya, yang berarti juga menurunkan ketinggiannya. Bila ketinggian sekitar 220 km telah tercapai, mulailah dilakukan pengaturan arah Mir. Mesin pengerem di Progress diupayakan berlawanan arah dengan arah gerak Mir agar pengereman bisa optimum. Langkah pertama diawali ketika Mir melintasi ekuator pada sekitar 20 derajat bujur Timur, di atas Zaire, Afrika. Setelah 14 putaran mengelilingi bumi, impuls pengereman pertama dinyalakan. Kemudian impuls ke dua diberikan setelah putaran ke-16. Dengan dua impuls itu orbit Mir menjadi sangat lonjong dengan titik terdekat 165 km dan terjauh 220 km. Setelah dua putaran lagi, pada saat ketinggiannya mencapai 210 km di atas Afrika, diberikan impuls terakhir selama 20 menit yang menyebabkan Mir turun drastis menuju titik sasaran di Pasifik Selatan.
Semua prosedur itu dilakukan dalam satu hari. Direncanakan impuls pertama diberikan pada 22 Maret pukul 08.00 WIB. Impuls ke dua pukul 11.00 WIB. Dan impuls terakhir sekitar pukul 14.00 WIB. Hanya perlu waktu sekitar 30 menit untuk mencapai titik sasaran. Jadi sekitar 22 Maret pukul 14.30 Mir akan jatuh di Pasifik.
Namun ada kekhawatiran, tahap awal yang menentukan untuk pengaturan arah Mir sebelum impuls pertama diberikan mungkin tidak mudah. Udara yang semakin rapat pada ketinggian 220 km mungkin menyulitkannya. Walaupun pusat pengendali di Moskow punya pengalaman deorbiting satelit, tetapi umumnya pada ketinggian di atas 250 km. Skenerio deorbiting pada 220 km baru pertama kali akan dicoba. Tetapi, pusat pengendali  masih menganggapnya bisa dikendalikan selama ketinggiannya masih di atas 200 km. Ada tenggang waktu 24 jam untuk mengatasinya bila ada masalah deorbiting.
Kalau prosedur deorbiting gagal, Mir akan jatuh tak terkendali sekitar 28 Maret (dengan rentang kemungkinan 25 – 31 Maret). Jatuhnya bisa di mana saja. Namun, diperkirakan reruntuhannya jatuh di daratan kemungkinannya sekitar 10 persen. Tetapi bila prosedur deorbiting bisa dilaksakanan, kemungkian meleset dari sasaran di Pasifik diperkirakan hanya 2 persen dan kemungkinan mengenai kota hanya sekitar 0.02 persen. Semoga saja tidak ada masalah dalam proses deorbiting tersebut.
Pada ketinggian 90 – 110 km (dikenal juga sebagai zona meteor) Mir akan terbakar akibat gesekan dengan udara yang semakin rapat. Mir seberat 136 ton itu akan pecah dan sebagian besar akan terbakar di udara. Diperkirakan puing-puing yang akhirnya mencapai bumi sebanyak 1.500 bagian dengan berat total 13 – 19 ton. Menurut rencana Mir jatuh di samudra Pasifik Selatan pada  posisi sekitar (47 LS, 140 BB). Puing-puingnya akan berserakan di atas wilayah lautan seluas 6000 x 500 km. Sebagai gambaran betapa luasnya daerah yang terancam, bisa dibandingkan dengan luas wilayah Indonesia yang sekitar 5000 x 2000 km. Jadi, luas “kuburan” Mir sekitar 1/4 wilayah Indonesia.

Mengamati Mir

Sambil berdoa agar Mir tidak jatuh di daerah berpenduduk, alangkah baiknya menikmati pemandangan langka Mir yang melintasi di langit. Seperti bintang kejora yang terang, Mir akan bergerak perlahan di langit selama 1 – 4 menit. Walaupun dengan mata telanjang Mir akan bisa diamati, tetapi bila mempunyai binokuler baik juga digunakan untuk memperjelas penampakannya. Teleskop bermedan pandang sempit tidak menolong untuk mencari objek bergerak seperti itu.
Pada pekan ke tiga Maret ini Mir melintasi Indonesia sesudah maghrib dan sebelum matahari terbit. Karena orbit Mir ketika melintas ekuator membentuk sudut 51,6 derajat, secara umum Mir akan tampak dari Indonesia melintas di langit dari Barat Daya ke Timur Laut atau dari Barat Laut ke Tenggara. Panampakan Mir berasal dari pantulan cahaya matahari dan karena saat ini melayang relatif rendah maka Mir akan tampak beberapa saat setelah maghrib atau sebelum matahari terbenam. Pada waktu senja Mir melintasi Indonesia saat beralih dari belahan bumi Utara ke belahan bumi Selatan, sehingga Mir tampak bergerak dari Barat Laut ke Tenggara. Sedangkan pada pagi hari Mir  melintasi Indonesia saat beralih dari belahan bumi Selatan ke belahan bumi Utara, sehingga Mir tampak bergerak dari Barat Daya ke Timur Laut.
Sayangnya tidak semua daerah bisa menikmati pemandangan langka ini. Pengamat di Makassar dan Medan, misalnya, tidak bisa berharap melihat Mir. Hanya ada dua jalur lintasan Mir yang bisa diamati dari Indonesia. Untuk pengamatan maghrib sekitar 18 – 19 Maret, secara garis besar jalur pertama lintasannya melalui pantai Timur Sumatera dan pulau Jawa dan jalur ke dua melalui Sulawesi Utara dan Maluku. Untuk pengamatan pagi 20 – 21 Maret, secara garis besar jalur lintasannya melalui Pulau Jawa dan Kalimantan dan jalur ke dua melalui Nusa Tenggara Timur dan Maluku.
Waktu pengamatan dan arah pandangan untuk wilayah Jawa dan Sumatera Selatan diberikan lebih rinci pada Tabel. Sebelum mengamati, cocokkan dahulu jam kita. Lalu perhatikan arah yang ditunjukkan pada tabel. Ketinggian di langit bisa diperkirakan dengan merentangkan kepalan tangan ke depan. Bila diukur dari kaki langit, satu kepalan kira-kira 10 derajat. Zenit, tepat di atas kepala kita, tingginya 90 derajat. Jadi bila tingginya sekitar 80 derajat, itu berarti kita harus tengadah pada saat ketinggian puncaknya.

No comments:

Not Indonesian?

Search This Blog