Sejarah perkembangan
Ka’bah yang juga dinamakan Baitul Atiq atau rumah tua adalah bangunan yang dipugar pada masa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail setelah Nabi Ismail berada di Mekkah atas perintah Allah SWT. Dalam Al-Qur’an, surah 14:37 tersirat bahwa situs suci Ka’bah telah ada sewaktu Nabi Ibrahim menempatkan Hajar dan bayi Ismail di lokasi tersebut.Pada masa Nabi Muhammad SAW berusia 30 tahun (Kira kira 600 M dan belum diangkat menjadi Rasul pada saat itu), bangunan ini direnovasi kembali akibat bajir bandang yang melanda kota Mekkah pada saat itu. Sempat terjadi perselisihan antar kepala suku atau kabilah ketika hendak meletakkan kembali batu Hajar Aswad namun berkat penyelesaian Muhammad SAW perselisihan itu berhasil diselesaikan tanpa pertumpahan darah dan tanpa ada pihak yang dirugikan.
Pada saat menjelang Muhammad SAW diangkat menjadi Nabi sampai kepindahannya ke kota Madinah. Lingkungan Ka’bah penuh dengan patung yang merupakan perwujudan Tuhan bangsa Arab ketika masa kegelapan pemikiran (jahilliyah) padahal sebagaimana ajaran Nabi Ibrahim yang merupakan nenek moyang bangsa Arab dan bangsa Yahudi serta ajaran Nabi Musa terhadap kaum Yahudi, Tuhan tidak boleh disembah dengan diserupakan dengan benda atau makhluk apapun dan tidak memiliki perantara untuk menyembahnya serta tunggal tidak ada yang menyerupainya dan tidak beranak dan tidak diperanakkan (Surat Al Ikhlas dalam Al-Qur’an) . Ka’bah akhirnya dibersihkan dari patung patung ketika Nabi Muhammad membebaskan kota Mekkah tanpa pertumpahan darah.
Selanjutnya bangunan ini diurus dan dipelihara oleh Bani Sya’ibah sebagai pemegang kunci ka’bah dan administrasi serta pelayanan haji diatur oleh pemerintahan baik pemerintahan khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Muawwiyah bin Abu Sufyan, Dinasti Uminasti Usmaniyah Turki, sampai saat ini yakni pemerintah kerajaan Arab Saumayyah, Dinasti Abbasiyyah, Ddi yang bertindak sebagai pelayan dua kota suci, Mekkah dan Madinah.
Bangunan Ka’bah
Pada awalnya bangunan Ka’bah terdiri atas dua pintu serta letak pintu ka’bah terletak diatas tanah , tidak seperti sekarang yang pintunya terletak agak tinggi sebagaimana pondasi yang dibuat Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Namun ketika Renovasi Ka’bah akibat bencana banjir pada saat Muhammad SAW berusia 30 tahun dan sebelum diangkat menjadi rasul, karena merenovasi ka’bah sebagai bangunan suci harus menggunakan harta yang halal dan bersih, sehingga pada saat itu terjadi kekurangan biaya. Maka bangunan ka’bah dibuat hanya satu pintu serta ada bagian ka’bah yang tidak dimasukkan ke dalam bangunan ka’bah yang dinamakan Hijir Ismail yang diberi tanda setengah lingkaran pada salah satu sisi ka’bah. Saat itu pintunya dibuat tinggi letaknya agar hanya pemuka suku Quraisy yang bisa memasukinya. Karena suku Quraisy merupakan suku atau kabilah yang sangat dimuliakan oleh bangsa Arab.Karena kaumnya baru saja masuk Islam, maka Nabi Muhammad SAW mengurungkan niatnya untuk merenovasi kembali ka’bah sehinggas ditulis dalam sebuah hadits perkataan beliau: “Andaikata kaumku bukan baru saja meninggalkan kekafiran, akan Aku turunkan pintu ka’bah dan dibuat dua pintunya serta dimasukkan Hijir Ismail kedalam Ka’bah”, sebagaimana pondasi yang dibangun oleh Nabi Ibrahim.
Ketika masa Abdurrahman bin Zubair memerintah daerah Hijaz, bangunan itu dibuat sebagaimana perkataan Nabi Muhammad SAW atas pondasi Nabi Ibrahim. Namun karena terjadi peperangan dengan Abdul Malik bin Marwan, penguasa daerah Syam (Suriah,Yordania dan Lebanon sekarang) dan Palestina, terjadi kebakaran pada Ka’bah akibat tembakan peluru pelontar (onager) yang dimiliki pasukan Syam. Sehingga Abdul Malik bin Marwan yang kemudian menjadi khalifah, melakukan renovasi kembali Ka’bah berdasarkan bangunan hasil renovasi Nabi Muhammad SAW pada usia 30 tahun bukan berdasarkan pondasi yang dibangun Nabi Ibrahim. Dalam sejarahnya Ka’bah beberapa kali mengalami kerusakan sebagai akibat dari peperangan dan umur bangunan.
Ketika masa pemerintahan khalifah Harun Al Rasyid pada masa kekhalifahan Abbasiyyah, khalifah berencana untuk merenovasi kembali ka’bah sesuai pondasi Nabi Ibrahim dan yang diinginkan Nabi Muhammad SAW. namun segera dicegah oleh salah seorang ulama terkemuka yakni Imam Malik karena dikhawatirkan nanti bangunan suci itu dijadikan ajang bongkar pasang para penguasa sesudah beliau. Sehingga bangunan Ka’bah tetap sesuai masa renovasi khalifah Abdul Malik bin Marwan sampai sekarang.
SEJARAH SIMBOL PEMAKAIAN BATU DALAM PANDANGAN KEBELAKANG .
Sering para kristen mengkritik islam jika yang disembah kaum muslim itu adalah berhala ” Batu ” yg ada di Ka’bah …..betulkah ?
Dan sejak kapan tradisi semacam ini terjadi ?
Dibawah ini saya uraikan sedikit sejarah pemujaan batu :
yang ditulis oleh sang mualaf David Benjamin Keldani
MualafPROFESOR DAVID BENJAMIN KELDANI B.D.(Wafat 1940) Dahulu Uskup Uramiah, Kaldea.
MISTERI MISPA ” BATU HITAM ” DAN IBADAH HAJI
MISTERI TENTANG “MISPA”Seperti ditunjukkan judul artikel ini saya akan mencoba untuk memberikan peragaan tentang budaya batu dari orang Ibrani Kuno yang mereka warisi dari Ibrahim, nenek moyang mereka, dan untuk menunjukkan bahwa budaya batu ini telah dilembagakan di Mekkah oleh Patriarch Ibrahim dan anak laki-lakinya Ismail; di tanah Kanaan oleh Ishaq dan Yakub; di Moab dan tempat lainnya oleh keturunan Ibrahim yang lain.Istilah “Budaya Batu”bukan dimaksudkan sebagai pemujaan terhadap batu yang adalah penyembahan berhala; budaya batu ini saya fahami sebagai pemujaan kepada Tuhan pada suatu batu khusus yang telah diberkati untuk maksud tersebut. Pada masa itu ketika bangsa terpilih (Isarel)ini menjalani kehidupan sebagai nomad dan penggembala, mereka tidak memiliki habitat yang tetap untuk mendirikan rumah yang khusus ditujukan untuk pemujaan Tuhan; biasanya mereka mendirikan sebuah batu di sekitar mana mereka biasa melakukan ritual haji, yaitu mengelilingi batu itu tujuh kali dalam bentuk lingkaran tarian (semacam tawaf- pent.). Kata haji mungkin menakutkan pembaca yang beragama Kristen dan mungkin mereka berkerut melihatnya karena bentuk Arabnya dan karena upacara ini telah menjadi ritual ummat Islam saat ini. Kata haji adalah persis sama dalam arti dan etimologi dengan kata yang sama dalam bahasa Ibrani dan Semit lainnya. Kata Ibrani “hagag” adalah sama dengan hajaj dalam bahasa Arab, perbedaannya hanya terletak pada pengucapan huruf ketiga dari alfabet bahasa Semit “gamal” yang orang Arab mengucapkannya sebagai “j”. Kitab Hukum Moses (Torah) mempergunakan kata hagag atau haghagh ini 1) jika memerintahkan untuk melaksanakan upacara festival ini.. Kata itu menandakan untuk mengitari sebuah bangunan atau altar atau sebuah batu dengan cara berlari mengelilinginya dengan langkah teratur dan terlatih dengan tujuan melaksanakan perayaan agama dengan bergembira dan nyanyian (do’a). Di Timur ummat Kristen masih mempraktekkan apa yang mereka sebut “higga” baik di hari-hari pesta atau perkawinan mereka. Dengan sendirinya kata ini tidak memiliki hubungan apapun dengan pilgrimage atau upacara haji (ummat Islam), yang berasal dari kata bahasa Itali pellegrino, dan ini juga dari bahasa Latin peregrinus yang berarti “orang asing” (foreigner).Selama dalam kunjungannya Ibrahim biasanya mendirikan sebuah altar untuk pemujaan dan korban pada beberapa tempat yang berbeda dan pada peristiwa-peristiwa tertentu. Ketika Yakub dalam perjalanan menuju Padan Aram dan melihat visi tangga yang indah itu beliau mendirikan sebuah batu di situ, ke atas mana beliau menuangkan minyak dan menyebutnya Bethel, yaitu Rumah Tuhan., dan dua puluh tahun kemudian beliau mengunjungi batu itu kembali, ke atas mana beliau menuangkan minyak dan “anggur asli”, seperti tertulis dalam Genesis xxviii. 10 – 22; xxxv. Sebuah batu istimewa didirikan sebagai monumen oleh Yakub dan ayah mertuanya di atas setumpuk batu dan menyebutnya Gal’ead dalam bahasa Ibrani, dan Yaghar sahdutha by Laban dalam bahasa Aramia, yang berarti “sejumlah kesaksian”. Namun nama yang pantas yang mereka berikan pada batu yang didirikan itu ialah “Mispa” (Genesis xxxi. 45 – 55), yang saya lebih senang untuk menuliskannya dalam bentuk tepat bahasa Arabnya, Mispha, dan ini saya lakukan begitu untuk kepentingan pembaca yang beragama Islam.Mispha ini kemudian menjadi tempat pemujaan yang sangat penting, dan pusat dari pertemuan nasional dalam sejarah bangsa Israel. Di sinilah Naphthah, seorang pahlawan Yahudi, bersumpah “di hadapah Tuhan” dan setelah mengalahkan bangsa Ammonit, dia diceriterakan sebagai telah mengorbankan anak perempuan satu-satunya sebagai korban bakaran (Hakim-Hakim xi). Di Mispha itulah bahwa empat ratus ribu orang bersenjata dari sebelas suku bangsa Israel berkumpul dan “bersumpah di hadapan Tuhan” untuk memusnahkan suku bangsa Benjamin untuk kejahatan yang dibenci yang telah dilakukan oleh seorang bangsa Benjamin dari Geba’ dan berhasil (Hakim-Hakim xx. xxi.). Nabi Samuel mengundang semua orang ke Mispha di mana mereka “bersumpah di hadapan Tuhan” untuk menghancurkan semua patung dan gambar mereka, dan kemudian diselamatkan dari tangan orang Filistin (1 Samuel vii). Di sinilah orang berkumpul dan Saul dinobatkan jadi Raja atas orang Israel (1 Samuel x). Dengan singkat, setiap masalah nasional yang penting diputuskan di Mispha atau di Bethel. Tampaknya kuil ini dibangun di atas tempat yang tinggi atau tempat yang ditinggikan, sering disebut Ramoth, yang berarti “tempat yang tinggi”. Bahkan setelah Kuil Suleiman yang indah dibangun, Mispha tetap sangat dihormati. tetapi seperti halnya Ka ‘aba di Mekkah, Mispha ini sering diisi dengan patung dan gambar-gambar. Sesudah penghancuran Jeruzalem dan Kuil oleh orang Kaldea, Mispha itu masih tetap memiliki sifat sucinya hingga masa kaum Makabi selama pemerintah Raja Antiochus. 2)
Sekarang apa arti kata Mispa itu?
Biasanya kata itu diterjemahkan sebagai “menara pengawas”. Kata ini termasuk kata benda dalam bahasa Semit – Asma Zarf – yang mengambil nama mereka dari benda yang dibungkus atau dicakupnya. Mispa adalah tempat atau bangunan yang mengambil namanya dari sapha, kata bahasa kuno untuk “batu”. Kata biasa untuk batu dalam bahasa Ibrani ialah “iben”, dan dalam bahasa Arab “hajar”. Dalam bahasa Syria batu adalah “kipa”.Tetapi safa atau sapha tampaknya menjadi bahasa yang umum bagi mereka semua untuk suatu obyek atau pribadi tertentu bila itu dianggapnya sebagai “batu”. Dari hal ini maka Mispa berarti lokal atau tempat di mana sapha atau batu itu terletak dan terpasang. Akan kita lihat kapan nama Mispa ini untuk pertama kalinya diberikan kepada batu yang didirikan di atas tumpukan balok batu, di situ tidak ada bangunan yang mengitarinya. Itu adalah spot atau tempat di mana sapha itu terletak, dan itu disebut Mispa.Sebelum menerangkan arti dari kata benda sapha saya ingin meminta kesabaran para pembaca yang tidak mengenal bahasa Ibrani. Bahasa Arab tidak mempunyai bunyi huruf ” p ” dalam alfabetnya sebagaimana juga dalam bahasa Ibrani dan bahasa Semit lainnya, di mana huruf ” p “, seperti halnya ” g “, kadang kala lunak dan diucapkan seperti ” f ” atau ” ph “. Dalam bahasa Inggris sebagai aturan, kata-kata dalam bahasa Semit atau Yunani yang berisi bunyi ” f ” ditransliterasikan (dipindah hurufkan) dan ditulis dengan sisipan ” ph ” dan bukan ” f “, misalnya: Seraph, Mustapha, dan Philosophy. Sesuai dengan aturan inilah saya lebih menyukai menulis kata sapha daripada safa.Ketika Jesus Kristus memberikan nama panggilan kepada pengikut pertamanya Shim’on (Simon) dengan gelar yang berarti “Petros” (Peter), pastilah dalam benak beliau tersirat sapha yang kuno dan suci yang telah lama hilang! Tetapi, sayang! kita tidak dapat dengan pasti menguraikan kata yang tepat yang beliau nyatakan dalam bahasanya sendiri. Dalam bahasa Yunani kata Petros dalam kasus maskulin – Petra dalam kasus feminin – adalah begitu tidak klasikal dan tidak berbau Yunani, yang orang menjadi sangat heran bahwa gereja mengadopsi kata itu. Pernahkah Jesus atau orang Yahudi lainnya bermimpi untuk memanggil nelayan Bar Yona, Petros? Pastilah tidak. Versi bahasa Syria ialah Pshitta seringkali menjadikan bentuk bahasa Yunani ini dengan Kipha (Kipa). Dan kenyataan baku bahwa bahkan teks bahasa Yunani telah melestarikan nama asli “Kephas,” yang versi bahasa Inggris mereproduksinya dalam bentuk “Cephas”, menunjukkan bahwa Kristus berbicara dalam bahasa Aramia dan memberi nama panggilan “Kipha” kepada pengikut utamanya.Versi lama bahasa Arab untuk Perjanjian Lama seringkali menulis nama St Peter dengan “Sham’un’ as-Sapha”; yaitu “Simon the Stone”. Kata-kata Kristus: “Thou art Peter”, dsb. padanan (ekivalen) dalam versi bahasa Arab ialah “Antas-Sapha” (Matius xvi. 18; Yohanes i. 42, dsb.).Karena itu bila Simon itu adalah Sapha, gereja yang akan dibangun di atasnya tentulah menjadi Mispha. Bahwa Kristen harus membandingkan Simon dengan Sapha dan Gereja dengan Mispha adalah sangat istimewa; namun bila tiba saatnya saya membuka tabir misteri yang tersembunyi dalam kesamaan ini dan kebijakan yang terkait dalam Sapha, maka haruslah diterima sebagai suatu kebenaran yang ajaib dari kehebatan Nabi Muhammad atas gelarnya yang mulia: MUSTAPHA !Dari apa yang telah diungkapkan di atas, keinginan untuk tahu kita dengan sendirinya akan menyebabkan kita untuk bertanya tentang hal-hal berikut:Mengapa ummat Islam dan Kristen Unitarian keturunan Nabi Ibrahim memilih batu untuk melaksanakan upacara keagamaan pada atau sekitar batu itu ?Mengapa batu istimewa ini disebut Sapha?Apa yang akan dituju oleh si penulis? Dan seterusnya – mungkin beberapa pertanyaan lainnyaBatu itu telah dipilih sebagai sebuah benda yang paling sesuai ke atas mana seseorang yang patuh pada agamanya meletakkan korbannya, menuangkan minyak murni dan anggurnya 3) dan melaksanakan upacara keagamaannya di sekitar batu itu. Lebih daripada itu, batu ini didirikan untuk memperingati ikrar dan janji-janji tertentu yang telah dibuat oleh seorang Nabi atau orang yang lurus dalam agamanya kepada Penciptanya, dan wahyu yang diterima dari Tuhan. Dengan begitu, batu itu adalah monumen suci untuk mengabadikan kenangan dan karakter suci dari peristiwa keagamaan yang besar. Untuk maksud tersebut, kiranya tidak ada benda lain yang melebihi batu. Bukan saja batu itu kuat dan tahan lama yang membuat batu itu lebih sesuai untuk maksud tersebut, tetapi juga kesahajaannya, kemurahannya, tidak bernilainya pada suatu tempat sunyi akan menjamin terhindar dari perhatian orang yang tamak atau yang membenci untuk mencuri atau membinasakannya. Seperti telah diketahui dengan baik, Hukum Musa (Taurat) melarang dengan keras untuk memotong atau memahat batu-batu altar. Batu yang disebut Sapha mutlak dibiarkan tetap dalam keadaan aslinya: tidak ada gambar-gambar, inskripsi, atau ukiran yang dicetak di atasnya, agar salah satu daripadanya tidak akan dipuja di masa mendatang oleh orang-orang yang bodoh. Emas, besi, perak atau metal lainnya tidak dapat memenuhi semua mutu yang diperlukan oleh sebuah batu yang sederhana. Karena itu akan dimengerti bahwa benda yang paling murni, paling tahan lama, dapat diterima dan paling aman untuk sebuah monumen agama dan suci tidak bisa lain kecuali batu.Patung perunggu Jupiter disembah oleh Pontifex Maximus Roma yang kafir, diambil dari Pantheon dan dicor kembali menjadi gambar St Peter atas perintah Souvereign Pointiff Kristen; sesungguhnyalah kebijakan yang terangkum dalam Sapha mengagumkan dan berharga bagi semua mereka yang tidak menyembah obyek apapun di samping Tuhan.Juga harus diingat, bukan saja Sapha yang didirikan itu sebagai monumen suci, tetapi demikian juga tempat yang khusus dan sirkuit di mana Sapha itu terletak. Dan untuk alasan inilah bahwa upacara haji bagi Muslim, seperti halnya higga bagi orang Yahudi, dilakukan di sekitar bangunan di mana Batu Suci itu terletak.
Adalah suatu kenyataan yang diketahui bahwa orang Karamati yang mengambil Batu Hitam dari Ka’aba dan menyimpannya di negerinya sendiri selama dua puluh tahun, diwajibkan untuk membawa dan meletakkannya kembali pada tempatnya semula karena mereka tidak dapat menarik jamaah haji dari Mekkah. Kalau saja batu itu emas atau obyek lain yang bernilai, pastilah sudah tidak ada lagi paling kurang selama lima ribu tahun; atau kalau seandainya batu itu memiliki pahatan atau ukiran atau gambar, pastilah Nabi Muhammad saw sendiri sudah membinasakannya.Mengenai arti atau lebih baik banyak arti dari Sapha, sudah saya tunjukkan bahwa itu menunjuk pada berbagai mutu yang dimiliki batu itu.Kata itu terdiri atas huruf hidup “sadi” (shad) dan “pi” berakhir dengan bunyi “hi” keduanya sebagai kata kerja dan kata benda. Dalam bentuk “qal” itu berarti “mensucikan” “memperhatikan, menatap dari kejauhan, dan memilih”. Kata itu juga mempunyai arti “bersikap tegas dan mantap”; dalam paradigma pi’el (?) yang adalah kausatif, itu berarti “membuat pilihan, menyebabkan untuk memilih,” dan sebagainya.Seseorang yang memandang dari sebuah menara disebut Sophi (2 Raja-Raja ix. 17, dst). Di zaman dulu sebelum kuil Suleiman dibangun, Nabi atau “Orang (nya) Tuhan” disebut Roi atau Hozi yang berarti “penglihat” (1 Samuel ix. 9). Tentu saja para sarjana Ibrani sangat mengenal dengan kata Msaphpi, atau lebih baik Msappi, yang merupakan kesamaan dalam ortografi bahasa Arab musaphphi, yang berarti: “seorang yang berusaha untuk memilih yang murni, mantap dan tegas,” dsb.
Pengawas di Menara Yisrael seperti tersebut di atas, memandang dan mengawasi dengan tajam dari kejauhan untuk membedakan sekelompok orang yang datang menuju kota. Dia melihat utusan pertama dari Raja yang datang dan bergabung dengan kelompok itu tetapi tidak kembali. Hal yang sama terjadi dengan utusan kedua dan ketiga. Barulah kemudian bahwa Sophi itu dapat mengenali Ketua dari kelompok itu sebagai Jehu. Nah, apa gerangan kegiatan dan kerja pengawas atau pengamat ini? Pekerjaannya ialah mengawasi dengan tajam dari kejauhan untuk mengenali satu di antara yang lainnya dengan tujuan untuk mengetahui identitas dan gerakannya, bila saja mungkin, dan kemudian memberi tahukan kepada Raja.
Jika anda bertanya: Apa kegiatan dan pekerjaan Sophi dari Mispha yang seorang diri itu? Jawaban berikut ini pasti tidak akan memuaskan seorang penyelidik yang mempunyai keinginan tahu yang besar: “…dia biasa mengawasi dari minaret Misppha (Mispa) agar dapat mengenali identitas orang yang datang di padang pasir, atau dia biasa mengawasi kemungkinan adanya bahaya.” Bila demikian, sifat keagamaan serta suci dari Misppha itu akan hilang, dan mungkin lebih akan berfungsi sebagai menara pengawas militer. Tetapi masalah Sophi dari Mispha berlainan sekali. Asal mulanya Mispha hanyalah sebuah kuil sederhana pada suatu tempat tinggi yang terpisah di Gal’ead di mana Sophi dengan keluarganya atau pembantu-pembantuny a biasa bertempat tinggal. Setelah penaklukan dan pendudukan tanah Kanaan oleh Israel, jumlah Mispha itu meningkat dan segera saja Mispha itu menjadi pusat keagamaan yang besar dan berkembang menjadi lembaga pelajaran dan konfraternitas. Tampaknya pusat-pusat itu menjadi seperti Mevlevi, Bektashi, Neqshbendi dan konfraternitas lainnya yang ada pada orang Islam, masing-masing ada di bawah Sheik dan Murshidnya sendiri. Mereka memiliki sekolah-sekolah yang ada di bawah naungan Mispha di mana diajarkan Hukum Musa, agama,sastra Ibrani dan cabang-cabang ilmu pengetahuan lainnya. Namun di atas kegiatan pendidikan ini, Sophi adalah kepala tertinggi dari mayarakat pemula yang biasa dia beri perintah dan ajar tentang agama yang esoterik dan mistik yang kita ketahui disebut Sophia. Sesungguhnyalah apa yang kita sebut kini dengan sufi pada waktu itu disebut nbiyim atau “prophets” (nabi), dan apa yang dalam Islam disebut takkas, zikr atau seruan do’a, mereka sebut dengan “prophesying” (nubuah). Pada zaman Nabi Samuel yang juga sebagai kepala negara dan lembaga Mispha, para pengikut dan pemula itu menjadi sangat banyak; dan ketika Saul diminyaki (upacara keagamaan) dan dimahkotai sebagai raja, dia ikut zikr atau kegiatan keagamaan menyeru do’a bersama dengan para pemula dan diumumkan dimana-mana: “Perhatikanlah, Saul juga ada di antara para Nabi.” Dan ungkapan ini menjadi peribahasa; karena dia juga ikut “prohesying” dengan kelompok para nabi itu (1Samuel x. 9-13). Persufian di antara orang-orang Ibrani berlanjut terus menjadi konfraternitas keagamaan yang esoterik di bawah kekuasaan Nabi waktu itu hingga wafatnya raja Suleiman. Sesudah kerajaan pecah menjadi dua bagian, ternyata perpecahan besar terjadi juga di antara para sufi. Di zaman Nabi Ilyas kira-kira 900 tahun sebelum Isa, dikatakan kepada kita bahwa beliau adalah satu-satunya Nabi yang sejati yang masih tertinggal dan bahwa semua yang lainnya telah tewas terbunuh; dan ada delapan ratus lima puluh nabi Baal dan Ishra yang ikut “makan di meja Ratu Izabel” (1 Raja-Raja xviii. 19).
Namun hanya beberapa tahun kemudian, pengikut Nabi Ilyas dan penggantinya Nabi Elisha, telah disambut di Bethel dan Jericho oleh puluhan “anak-anak Nabi” yang meramalkan kenaikan nabi Ilyas dalam waktu dekat (2 Raja-raja ii.)Apapun posisi sesungguhnya para Sufi Ibrani sesudah terjadinya perpecahan besar agama dan bangsa, satu hal adalah pasti, yaitu bahwa pengetahun sejati tentang Tuhan dan ilmu pengetahuan agama yang esoterik tetap terpelihara hingga kedatangan Jesus Kristus, yang membangun masyarakat pemulanya di dalam “kalangan dalam agama” (Inner Religion) atas Simon the Sapha, dan bahwa para Sophi sejati atau para pengawas, penglihat atau pengamat dari Mispha Kristen melestarikan pengetahuan itu dan mengawasinya hingga kedatangan Pilihan Allah, Nabi Muhammad al-Mustapha – atau Mustaphi dalam bahasa Ibrani!Seperti saya katakan di atas, Injil menyebut banyak nama para nabi yang terkait dengan Mispha; namun kita harus benar-benar mengerti bahwa sebagaimana dengan jelas Al Qur’an menyatakannya: “Tuhan Yang Paling Mengetahui siapa yang akan Dia angkat menjadi UtusanNya” bahwa Dia tidak memberikan hadiah ramalan kepada seseorang dengan sebab untuk kemuliaannya, kekayaannya, atau bahkan kealimannya, namun semata -mata hanya untuk kesenanganNya (keridhoanNya- pen.). Keyakinan dan semua kegiatan keagamaan, meditasi, latihan spiritual, doa, puasa, dan ilmu pengetahuan suci mungkin menyebabkan timbulnya seorang baru menjadi murshid atau pembimbing spiritual, atau sampai pada tingkat santo (orang suci), tetapi tidak akan pernah sampai pada tingkat nabi; karena kenabian bukanlah dicapai dengan melalui upaya, tetapi adalah sebuah pemberian Tuhan. Bahkan di antara para Nabi hanya ada beberapa saja yang adalah Utusan (Rasul) yang diberi kitab suci khusus dan diperintahkan untuk memberi petunjuk dan peringatan kepada ummat tertentu atau dengan misi khusus.
Karena itu istilah “nabi” seperti dipergunakan dalam Kitab Suci orang Ibrani seringkali adalah bermakna ganda (lebih dari satu).Saya juga harus mencatat dalam hubungan ini bahwa mungkin sebagian besar dari materi Injil adalah karya atau produksi dari Mispha-Mispha ini sebelum Penangkapan Babilon atau bahkan mungkin sebelumnya, tetapi kemudian direvisi oleh tangan-tangan yang tidak diketahui siapa punya hingga menjadi dalam bentuknya seperti kita kenal sekarang.Nah sekarang tinggal beberapa kata lagi untuk dikatakan tentang Sufiisme orang Muslim dan kata bahasa Yunani “Sophia” (kebijakan atau cinta akan kebijakan); dan suatu perbincangan tentang dua sistim pengetahuan tinggi ini terletak di luar ruang lingkup artikel ini. Dalam pengertian luas, filosofi adalah suatu studi atau ilmu pengetahuan tentang prinsip utama tentang “ada”; dengan perkataan lain filosofi itu melampaui batas dari fisik ke studi tentang “ada yang murni”. dan meninggalkan studi tentang sebab musabab atau hukum dari apa yang terjadi atau dilihat di dalam alam sebagai sedang mencoba untuk menggapai metafisik yang berhubungan dengan keyakinan, etika dan hukum yang kini dikenal sebagai aspek spiritual dari peradaban, sedang fisik itu dianggap sebagai aspek materi dari peradaban. Karenanya sulit sekali untuk menemukan kebenaran.Perbedaan antara kata bahasa Yunani “Sophia” dan Sufi Muslim ialah bahwa orang Yunani itu telah mencampur adukkan bidang materialistik dan spiritual dan pada saat yang bersamaan mereka gagal untuk menerima wahyu seperti diakui oleh filosof utama mereka Aristotle dan Socrates bahwa berhubungan dengan metafisik tanpa adanya wahyu dari Sang Pencipta seperti menyeberangi samudera di atas sebatang kayu! Sedang Sufi orang Muslim yang beruntung mengkonsentrasikan diri dalam bidang etika dan mengikuti jejak Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya dalam mendisiplinkan hati seseorang dan diri sendiri dalam berlayar untuk menggapai Kumpulan Tinggi Para Malaikat dan sebagainya.Sufiisme orang Muslim adalah kontemplasi tentang karya Allah dan CiptaanNya dan diri sendiri, dan menghindarkan diri dari kontemplasi tentang Allah Sendiri, karena manusia itu dibuat dari lingkungannya, dan selekas dia akan mempergunakan panca inderanya untuk melukiskan Allah, maka akan menjadi sangat berbahaya seperti halnya terjadi dengan orang Mesir ketika mereka melukiskan Sphinx yang memiliki kepala, cakar, tubuh, dsb.Keunggulan Sophia Islam daripada filosofi Yunani adalah pernyataan (manifestasi) dari obyek yang dilihat. Dan dengan pasti Sophia Islam itu lebih unggul daripada selibasi dalam agama Kristen dan religiositas (monastik) dalam ketidak pekaannya terhadap kesadaran dan kepercayaan orang lain. Seorang Sufi Muslim selalu menawarkan hormat terhadap agama lain, menertawakan gagasan “heresy” dan mencela semua pengejaran dan penindasan (persecution and oppression). Sebagian besar orang suci (santo) Kristen adalah kalau bukan persekutor maka dia adalah orang yang terkena persekusi karena “heresy”, dan mereka terkenal karena ketidak toleransian mereka. Sayang , tetapi itulah kebenarannya.Juga bermanfaat untuk dicatat bahwa dalam abad awal Islam, para Sufi Muslim disebut dengan “Zahid” atau “Zohad” dan pada saat itu mereka tidak mempunyai metodologi, tetapi mereka memiliki fraternitas atau komunitas kepercayaan dan jurisprudensi yang lengkap bagi mazhabnya.
Mereka berkonsentrasi pada etika dan pemikiran. Generasi berikutnya membuat metodologi pelajaran untuk para pemula, menengah (intermediate) dan yang sudah lanjut (the advanced) berdasarkan Al Qur’an dan Hadith Nabi (Prophetic Quotations). Jelas sekali bahwa rektisi setiap hari atas Al Qur’an, penghafalan Asma’al-Husna dan do’a bagi Nabi Muhammad saw bersama dengan permohonan ampun kepada Allah dan sholat tahajud, puasa di siang hari adalah beberapa dari karakteristik yang penting. Pada pihak lain, para Sufi Muslim yang otentik menolak setiap anggota yang tidak jujur dan tulus yang gagal untuk mengikuti jejak Nabi Muhammad. Harus diakui, banyak orang bodoh telah termakan, dengan berpikir bahwa kasus ketidak tulusan itu adalah mewakili Sufiisme Muslim. Mereka tidak bisa mengerti bahwa Ihsan yang adalah sepertiga dari agama seperti ditunjukkan dalam jawaban Nabi Muhammad saw atas pertanyaan: “Apakah Islam itu?”, “Apakah Iman itu?” dan “Apakah Ihsan itu?”, ketika Nabi Muhammad saw bersabda bahwa orang yang bertanya itu ialah malaikat Jibril, dan bahwa beliau datang untuk mengajar agama kepadamu. Demikian juga, Islam itu dilayani oleh empat mazhab jurisprudensi (fikh), sedang Iman oleh mazhab kepercayaan seperti Salaf dan Ashariah, dan tentu saja Sufi dilayani oleh Ihsan. Bila seseorang meragukan hal ini, biarlah dia menyebutkan pakar-pakar Ihsan, karena bila anda pergi ke Pengadilan Islam yang termasuk dalam seksi Islam, atau pergi ke mazhab Kepercayaan dan mengaku bahwa ada iri hati dan dengki dalam hatinya dsb. sebagai penyakit dari jiwa, kedua mazhab itu akan mengakui bahwa mereka tidak mempunyai sangkut paut dengan aspek itu dan akan merujuknya kepada ahli ibadah, atau seorang Sufi, Sheik.Sebagai catatan kedua saya ingin menambahkan bahwa para pengarang Muslim selalu menuliskan kata bahasa Yunani “philosophy” dalam bentuk falsafah dengan huruf “sin” dan bukan huruf “shad” atau “thad” yang adalah satu dari huruf-huruf yang membentuk kata dalam bahasa Ibrani dan Arab Sapha dan Sophi. Saya kira bentuk ini dimasukkan ke dalam literatur bahasa Arab oleh penterjemah dari Asiria yang dahulu termasuk dalam sekte Nestorian. Orang Turki menuliskan Santo Sofia dari Istambul dengan huruf shad, tetapi falsafah dengan huruf sin seperti halnya samekh dalam bahasa Ibrani. Saya yakin bahwa Sophia dalam bahasa Yunani secara etimologi dapat dikenali dari kata bahasa Ibrani; dan bahwa gagasan dalam kalangan Muslim bahwa kata sophia (sowfiya) berasal dari kata “soph” yang berarti “wool” haruslah dibuang.Sophia atau kebijakan yang sejati ialah pengetahuan yang sesungguhnya tentang Tuhan, pengetahuan yang sejati tentang agama dan moralitas, dan penentuan yang mutlak benar atas Utusan Terakhir di antara semua Utusan Tuhan, adalah termasuk dalam lembaga kuno orang Israel ‘Mispha’ hingga saat dialihkannya ke Mispha orang Nasrani atau Kristen. Sungguh hebat melihat betapa lengkap analogi itu dan betapa ekonomi Tuhan yang berkenaan dengan hubunganNya dengan manusia telah dilaksanakan dengan keseragaman dan tertib yang mutlak. Mispha adalah filter di mana semua data dan orang disaring dan diteliti oleh para Musaphphi (bahasa Ibrani Mosappi) seperti halnya oleh colander (saringan, karena itulah arti kata itu); sehingga yang asli dibedakan dengan dan dipisahkan dari yang palsu, dan yang murni dari tidak murni; walaupun abad telah silih berganti, banyak sekali Nabi-Nabi datang dan pergi, namun Mustapha, Seorang Yang Terpilih, tidak muncul. Kemudian datang Jesus yang suci; tetapi dia ditolak dan di siksa, karena di Israel tidak ada lagi Mispha yang resmi yang pasti telah akan mengenali dan mengumumkannya sebagai Utusan Tuhan yang sejati yang dikirimkanNya untuk membawa kesaksian atas Mustapha yang adalah Nabi Terakhir yang akan datang sesudahnya. “Dewan Agung Sinagog” telah berkumpul dan dilembagakan oleh Ezra dan Nehemiah, di mana “Simeon Yang Adil” adalah anggota terakhirnya (310 S.M.), digantikan oleh Pengadilan Adi Jeruzalem (Supreme Tribunal of Jeruzalem) yang disebut : “Sahedrin”; tetapi Dewan yang kemudian itu yang diketuai oleh seorang “Nassi” atau “Pangeran”, menghukum mati Jesus karena Dewan itu tidak mengakui Jesus dan sifat dari misi sucinya. Namun beberapa Sufi mengenali Jesus dan mempercayai misi kenabiannya; namun sejumlah orang menyalah fahaminya sebagai Mustapha atau Utusan Allah yang “terpilih”, dan menangkap dan mengakuinya sebagai raja, tetapi beliau lenyap dan menghilang dari antara mereka. Beliau bukanlah Mustapha, jika bukan maka tidaklah masuk akal untuk menjadikan Simon sebagai Sapha dan gerejanya sebagai Mispha; karena fungsi dan tugas dari Mispha adalah untuk mengamati dan mencari tahu Utusan Terakhir, agar bila dia datang dapat diumumkan sebagai Orang Yang Dipilih dan Ditetapkan – Mustapha. Jika Jesus itu Mustapha maka tidak perlu lagi ada lembaga Mispha. Ini adalah sebuah subyek yang mendalam dan menarik; hal itu memerlukan kesabaran dalam mempelajarinya.
Nabi Muhammad al Mustapha adalah sebuah misteri Mispha, dan kekayaan dari Sophia
No comments:
Post a Comment