Letusan Terakhir : Start, 10 April 1815 – Erupt, 17 April 1815.
Muntahkan Magma : 100 km³.
Lepasan abu (kubik) : 400 km³ debu ke angkasa.
Tinggi abu : 44 km dari permukaan tanah.
Lontaran abu : 1300km.
Radius suara letusan : 2600 km
Endapan aliran piroklastik : 7-20m
Tsunami sepanjang pantai : sejauh 1200km, tinggi 1-4m, di Maluku Tsunami hingga 2 meter
Korban letusan langsung : 117.000 korban jiwa.
Kerajaan yang lenyap akibat letusan: Kerajaan Tambora, Kerajaan Pekat dan Kerajaan Sanggar.
A Year Without Summer…
10 April pada tahun 1815. Gunung
Tambora meletus dengan begitu dahsyat, bahkan jauh lebih dahsyat dari
Gunung Krakatau. Suara guruh ini terdengar sampai ke pulau Sumatera pada
tanggal 10-11 April 1815 (lebih dari 2.600 km dari gunung Tambora) yang
awalnya dianggap sebagai suara tembakan senapan. Pada pukul 7:00 malam
tanggal 10 April, letusan gunung ini semakin kuat.
Tiga lajur api terpancar dan bergabung. Seluruh pegunungan
berubah menjadi aliran besar api. Batuan apung dengan diameter 20 cm
mulai menghujani pada pukul 8:00 malam, diikuti dengan abu pada pukul
9:00-10:00 malam.
Aliran piroklastik panas mengalir
turun menuju laut di seluruh sisi semenanjung, memusnahkan desa Tambora.
Ledakan besar terdengar sampai sore tanggal 11 April. Abu menyebar
sampai Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Bau “nitrat” tercium di Batavia
dan hujan besar yang disertai dengan abu tefrit jatuh, akhirnya letusan
Tambora kembali mulai mereda antara tangal 11 dan 17 April 1815 dan
sekaligus melenyapkan tiga kerajaan pada masa itu….
Debu vulkanik menyebar setinggi
puluhan kilometer mempengaruhi iklim seantero Bumi, menutup sinar
matahari selama berbulan-bulan lamanya… Bumi bagian utara dan selatan
tetap menjadi dingin… Di Eropa dan Amerika Utara pun matahari tetap
tertutup debu vulkanik dan membuat daerah tersebut tetap dingin walau
dimusim panas. Jutaan orang kelaparan, mayat terkapar bergelimpangan,
semua akibat tumbuhan layu dan mati tanpa adanya matahari sepanjang
tahun. Salju tak kunjung cair, mengerikan…. masa itu dikenal dunia
sebagai
“Tahun yang tak melalui musim panas” atau“A year without summer”….
Gunung Tambora (atau Tomboro) adalah sebuah stratovolcano aktif yang terletak di pulau Sumbawa, Indonesia.
Gunung ini terletak di dua kabupaten,
yaitu Kabupaten Dompu (sebagian kaki sisi selatan sampai barat laut, dan
Kabupaten Bima (bagian lereng sisi selatan hingga barat laut, dan kaki
hingga puncak sisi timur hingga utara), Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Sejarah Letusan
Dengan menggunakan teknik penanggalan radiokarbon, dinyatakan bahwa gunung Tambora telah meletus tiga kali sebelum letusan tahun 1815, tetapi besarnya letusan tidak diketahui.
Dengan menggunakan teknik penanggalan radiokarbon, dinyatakan bahwa gunung Tambora telah meletus tiga kali sebelum letusan tahun 1815, tetapi besarnya letusan tidak diketahui.
Perkiraan ketiga letusannya pada tahun:
- Letusan pertama: 39910 sebelum masehi ± 200 tahun
- Letusan kedua: 3050 sebelum masehi
- Letusan ketiga: 740 ± 150 tahun.
- Letusan kedua: 3050 sebelum masehi
- Letusan ketiga: 740 ± 150 tahun.
Ketiga letusan tersebut memiliki
karakteristik letusan yang sama. Masing-masing letusan memiliki letusan
di lubang utama, tetapi terdapat pengecualian untuk letusan ketiga.
Namun pada letusan ketiga, tidak terdapat aliran piroklastik.
Pada tahun 1812, gunung Tambora menjadi lebih aktif, dengan puncak letusannya terjadi pada bulan April tahun 1815.
Besar letusan ini masuk ke dalam skala
tujuh Volcanic Explosivity Index (VEI), dengan jumlah semburan tefrit
sebesar 1.6 × 1011 meter kubik.
Karakteristik letusannya termasuk letusan
di lubang utama, aliran piroklastik, korban jiwa, kerusakan tanah dan
lahan, tsunami dan runtuhnya kaldera.
Letusan ketiga ini mempengaruhi iklim
global dalam waktu yang lama. Aktivitas Tambora setelah letusan tersebut
baru berhenti pada tanggal 15 Juli 1815.
Pada saat letusan terjadi, beberapa orang
Belanda yang berada di Surabaya mencatat dalam buku hariannya mengaku
mendengar letusan tersebut, juga beberapa orang di benua Australia
bagian Barat Laut.
Mereka mengira itu hanyalah suara gemuruh guntur karena tiba-tiba muncul awan mendung yang membuat redupnya sinar matahari.
Namun mereka tidak yakin karena yang mereka yakini awan, ternyata adalah asap dan debu vulkanis.
Dan yang turun ke bumi bukanlah air melainkan debu dan kerikil kecil!
Letusan Gunung Tambora merupakan letusan gunung terdahsyat sepanjang masa yang pernah tercatat pada era modern.
Pada saat gunung Tambora meletus, daerah
radius kurang lebih 600 km dari gunung Tambora gelap gulita sepanjang
hari hampir seminggu lamanya.
Letusan yang terdengar, melebihi jarak
2000 km dan suhu Bumi menurun hingga beberapa derajat yg mengakibatkan
bumi menjadi dingin akibat sinar matahari terhalang debu vulkanis selama
beberapa bulan.
Sehingga berdampak juga ke daerah Eropa & Amerika Utara mengalami musim dingin yg panjang.
Sedangkan Australia dan daerah Afrika Selatan turun salju di saat musim panas.
Peristiwa ini dikenal dengan “The year without summer” atau tahun tanpa musim panas.
Aktivitas selanjutnya kemudian terjadi
pada bulan Agustus tahun 1819 dengan adanya letusan-letusan kecil dengan
api dan bunyi gemuruh disertai gempa susulan yang dianggap sebagai
bagian dari letusan tahun 1815.
Letusan ini masuk dalam skala kedua pada skala VEI.
Sekitar tahun 1880 (± 30 tahun), Tambora
kembali meletus, tetapi hanya di dalam kaldera. Letusan ini membuat
aliran lava kecil dan ekstrusi kubah lava, yang kemudian membentuk kawah
baru bernama Doro Api Toi di dalam kaldera.
Gunung Tambora masih berstatus aktif.
Kubah lava kecil dan aliran lava masih terjadi pada lantai kaldera pada
abad ke-19 dan abad ke-20.
Letusan terakhir terjadi pada tahun 1967,
yang disertai dengan gempa dan terukur pada skala 0 VEI, yang berarti
letusan terjadi tanpa disertai dengan ledakan.
Total volume yang dikeluarkan Gunung
Tambora saat meletus hebat hampir 200 tahun silam mencapai 150 kilometer
kubik atau 150 miliar meter kubik. Deposit jatuhan abu yang terekam
hingga sejauh 1.300 kilometer dari sumbernya.
Peneliti dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Igan Supriatman Sutawidjaja, dalam tulisannya, ”Characterization of Volcanic Deposits and Geoarchaeological Studies from the 1815 Eruption of Tambora Volcano”, menyebutkan, distribusi awan panas diperkirakan mencapai area 820 kilometer persegi.
Jumlah total gabungan awan panas
(piroklastik) dan batuan totalnya 874 kilometer persegi. Ketebalan awan
panas rata-rata 7 meter, tetapi ada yang mencapai 20 meter.
Ahli botani Belanda, Junghuhn, dalam ”The Eruption of G Tambora in 1815”, menulis, empat tahun setelah letusan, sejauh mata memandang adalah batu apung.
Pelayaran terhambat oleh batuan apung
berukuran besar yang memenuhi lautan. Segala yang hidup telah punah.
Bumi begitu mengerikan dan kosong.
Junghuhn membuat deskripsi itu berdasarkan laporan Disterdijk yang datang ke Tambora pada 16 agustus 1819 bersama The Dutch Residence of Bima. Letusan Tambora memang dahsyat, bahkan terkuat yang pernah tercatat dalam sejarah manusia modern.
Magnitudo letusan Tambora, berdasarkan
Volcanic Explosivity Index (VEI), berada pada skala 7 dari 8, hanya
kalah dari letusan Gunung Toba (Sumatera Utara), sekitar 74.000 tahun
lalu, yang berada pada skala 8.
Letusan gunung Tambora juga tercatat sebagai letusan gunung yang paling mematikan.
Jumlah korban tewas akibat gunung ini sedikitnya mencapai 71.000 jiwa tapi sebagian ahli menyebut angka 91.000 jiwa.
Sebanyak 10.000 orang tewas secara langsung akibat letusan dan sisanya karena bencana kelaparan dan penyakit yang mendera.
Jumlah ini belum termasuk kematian yang
terjadi di negara-negara lain, termasuk Eropa dan Amerika Serikat, yang
didera bencana kelaparan akibat abu vulkanis Tambora yang menyebabkan
tahun tanpa musim panas di dua benua itu.
Bahkan di Eropa, Napoleon Bonaparte kalah perang karena efek dari gunung Tambora ini.
Berikut ringkasan laporan kesaksian saat letusan Gunung Tambora terjadi, yang disarikan dari ”Transactions of the Batavian Society” Vol VIII, 1816, dan dan ”The Asiatic Journal” Vol II, Desember 1816.
Sumanap (Sumenep), 10 April 1815
Sore hari tanggal 10, ledakan menjadi sangat keras, salah satu ledakan bahkan mengguncang kota, laksana tembakan meriam.
Sore hari tanggal 10, ledakan menjadi sangat keras, salah satu ledakan bahkan mengguncang kota, laksana tembakan meriam.
Menjelang sore keesokan harinya, atmosfer begitu tebal sehingga harus menggunakan lilin pada pukul 16.00.
Pada pukul 19.00 tanggal 11, arus air
surut, disusul air deras dari teluk, menyebabkan air sungai naik hingga 4
kaki dan kemudian surut kembali dalam waktu empat menit.
Baniowangie (Banyuwangi), 10 April 1815
Pada tanggal 10 April malam, ledakan semakin sering mengguncang bumi dan laut dengan kejamnya. Menjelang pagi, ledakan itu berkurang dan terus berkurang secara perlahan hingga akhirnya benar-benar berhenti pada tanggal 14.
Pada tanggal 10 April malam, ledakan semakin sering mengguncang bumi dan laut dengan kejamnya. Menjelang pagi, ledakan itu berkurang dan terus berkurang secara perlahan hingga akhirnya benar-benar berhenti pada tanggal 14.
Fort Marlboro (Bengkulu), 11 April 1815
Suaranya terdengar oleh beberapa orang di permukiman ini pada pagi hari tanggal 11 April 1815.
Suaranya terdengar oleh beberapa orang di permukiman ini pada pagi hari tanggal 11 April 1815.
Beberapa pemimpin melaporkan adanya
serangan senjata api yang terus-menerus sejak fajar merekah. Orang-orang
dikirim untuk penyelidikan, tetapi tidak menemukan apa pun.
Suara yang sama juga terdengar di
wilayah-wilayah Saloomah, Manna, Paddang, Moco-moco, dan wilayah lain.
Seorang asing yang tinggal di Teluk Semanco menulis, sebelum tanggal 11
April 1815 terdengar tembakan meriam sepanjang hari.
Besookie (Besuki, Jawa Timur), 11 April 1815
Kami terbungkus kegelapan pada 11 April sejak pukul 16.00 sampai pukul 14.00 pada 12 April. Tanah tertutup debu setebal 2 inci.
Kami terbungkus kegelapan pada 11 April sejak pukul 16.00 sampai pukul 14.00 pada 12 April. Tanah tertutup debu setebal 2 inci.
Kejadian yang sama juga terjadi di
Probolinggo dan Panarukan, terus sampai di Bangeewangee (Banyuwangi)
tertutup debu setebal 10-12 inci. Lautan bahkan lebih parah akibat dari
letusan tersebut. Suara letusan terdengar sampai sejauh 600-700 mil.
Grissie (Gresik, Jawa Timur), 12 April 1815
Pukul 09.00, tidak ada cahaya pagi. Lapisan abu tebal di teras menutupi pintu rumah di Kradenan. Pukul 11.00 terpaksa sarapan dengan cahaya lilin, burung-burung mulai berkicau mendekati siang hari.
Pukul 09.00, tidak ada cahaya pagi. Lapisan abu tebal di teras menutupi pintu rumah di Kradenan. Pukul 11.00 terpaksa sarapan dengan cahaya lilin, burung-burung mulai berkicau mendekati siang hari.
Jam 11.30 mulai terlihat cahaya matahari
menerobos awan abu tebal. Pukul 05.00 sudah semakin terang, tetapi masih
tidak bisa membaca atau menulis tanpa cahaya lilin.
Tidak ada seorang yang ingat ataupun tercatat dalam tradisi erupsi yang sedemikian besar.
Ada yang melihat kejadian itu sebagai transisi kembalinya pemerintahan yang lama.
Lainnya melihat kejadian itu dari sisi
takhayul dan legenda bahwa sedang ada perayaan pernikahan Nyai Loro
Kidul (Ratu Kidul) yang tengah mengawini salah satu anaknya.
Maka dia tengah menembakkan artileri
supernaturalnya sebagai penghormatan. Warga menyebut abu yang jatuh
berasal dari amunisi Nyai Loro Kidul.
Makasar, 12-15 April 1815
Tanggal 12-15 April udara masih tipis dan berdebu, sinar matahari pun masih terhalang.
Tanggal 12-15 April udara masih tipis dan berdebu, sinar matahari pun masih terhalang.
Dengan sedikit dan terkadang tidak ada
angin sama sekali. Pagi hari tanggal 15 April, kami berlayar dari
Makassar dengan sedikit angin.
Di atas laut terapung batu-batu apung,
dan air pun tertutup debu. Di sepanjang pantai, pasir terlihat bercampur
dengan batu-batu berwarna hitam, pohon-pohon tumbang. Perahu sangat
sulit menembus Teluk Bima karena laut benar-benar tertutup.
Heinrich Zollinger, Peneliti Pertama Penyingkap Gunung Tambora 1847
Heinrich Zollinger merupakan peneliti
yang berjejak pertama kalinya di Tambora usai gunung itu menunjukkan
amarahnya. Zollinger menyambanginya pada 1847 atau 32 tahun setelah
letusan mahadahsyat yang berdampak pada perubahan iklim dunia.
Dia mendaki dan memanjat reruntuhan tebing ketika Tambora masih hangat berselimut kepulan asap yang menyeruak ke angkasa.
Zollinger merupakan ahli botani asal
Swiss yang ditunjuk Kerajaan Belanda sebagai kolektor tanaman resmi di
negeri kepulauan Hindia Belanda pada 1842.
Tugasnya melakukan ekspedisi ilmu
pengetahuan yang dibiayai oleh pemerintah. Kediamannya di sebuah vila
pedesaan Tjikoja—kini Cikuya—Karesidenan Banten.
Awalnya dia mengumpulkan data tetumbuhan
di lingkungan wilayah Banten dan Buitenzorg—kini Bogor. Dia merambahi
dari kawasan Pantai Anyer, Kota Tangerang, sampai lembah dan gunung,
termasuk Gede-Pangrango, Salak, dan Tangkubanperahu.
Tahun berikutnya dia merambahi kediaman dewa gunung di Penanggungan, Semeru, Arjuna dan gunung-gunung di Jawa Timur lainnya.
Pada 1844 Zollinger mencatat keberhasilan berada di puncak Gunung Welirang, salah satu menara kembar di Jawa.
Koleksi prospektus tumbuhan yang
dikumpulkan Zollinger, salah satunya, dikirim ke Profesor Alexander
Moritzi, naturalis asal Swis yang bekerja di Solothurn, Swis. Moritzi
kelak membantunya dalam hal penamaan, penomoran, dan distribusi.
Pada 1847, petualangannya sampai ke
Sumbawa. Tujuan Zollinger adalah mempelajari letusan masa silam Tambora
yang berdampak pada keseimbangan alam setempat dan pemulihannya.
Zollinger merayapi lereng hingga mencapai bibir kalderanya di ketinggian sekitar 2.851 meter.
Menurutnya, sebelum letusan mahadahsyat pada 1815, tinggi Tambora mencapai hampir 4.000 meter!
Zollinger pulang ke Swiss pada 1847,
kemudian dia menjabat direktur sekolah seminari di Kussnacht, Swis. Baru
pada 1855 dia kembali ke Jawa sebagai seorang ahli botani independen
dan kolektor tanaman. Ekspedisi kedua di Hindia Belanda pun dimulai.
Biaya perjalanan ke pelosok Hindia
diperolehnya lewat kiriman prospektus herbarium kepada para ilmuwan di
Eropa. Selain mendapatkan uang jasa atas kirimannya, Zollinger juga
mendapat perlindungan selama perjalanannya berupa asuransi jiwa.
Zollinger dikenal sebagai penulis
berbagai jurnal dan publikasi ilmiah. Dia banyak menemukan spesies
tanaman langka, yang sebagian merupakan spesies baru. Banyak
pemikirannya telah mengalir dari ujung tinta, antara lain bidang
geologi, meteorologi, moluska di Pulau Rakata, taksonomi tumbuhan, dan
beberapa hal yang terkait tentang vegetasi di Hindia Belanda.
Koleksi herbariumnya telah tersebar di
berbagai herbarium di Swiss dan Prancis. Namun, koleksi utamanya kini
disimpan di Nationaal Herbarium Nederland di Universiteit Leiden dan
Utrecht.
Zollinger demam hebat saat melakukan
ekspedisi di Kandangan, sebuah desa di lereng tenggara Gunung Tengger,
Jawa Timur. Dia tarjangkit malaria —salah satu ancaman terbesar
penjelajah abad ke-19—kemudian tewas di desa tersebut pada 19 Mei 1859.
Ketika itu usianya 41 tahun.
Kini, namanya dikenang dalam sebuah plakat di Botanischer Garten Zürich (Kebun Botani Zurich), Swis. Beberapa nama tumbuhan di Indonesia mengabadikan namanya.
Sebagai contoh, dua dari seratusan tanaman obat yang digunakan penduduk sekitar kawasan Halimun-Salak adalah Flacourtia rukam Zollinger & Moritzi dan Schismatoglottis rupstris Zollinger & Moritzi.
Dalam penjelajahannya sekitar sepuluh tahun di Hindia Belanda, Zollinger telah memberikan lebih dari 270 spesimen.
Lebih dari 20 spesies tanaman, rumput
laut dan jamur menggunakan nama “zollingerii” sebagai bagian penamaan
Latin. Sebuah sumbangan besar dan bermanfaat kepada ilmu pengetahuan. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)
No comments:
Post a Comment